HANYA
SEBATAS ITU
Hari
itu aku duduk sendiri di taman depan kelas. Ku tatap air mineral kemasan
ditanganku. Fikiranku berkecamuk, berbagai hal yang tak bisa ku satukan. Aku
masih mengingat dengan jelas bahkan dengan mata tertutup. Ingatan tentang
kejadian semalam yang membuatku tak dapat berkata apapun. Hingga sahabatku
datang dan membuyarkan ingatanku. Dan ku kembali bercanda dengan sahabatku.
Malam
itu aku menemani sepupu yang datang dari kota Makassar. Aku menemaninya ke
pantai. Hanya sekedar berjalan – jalan dan menikmati dinginnya udara pantai
malam hari. Saat aku sedang meminum jus pesananku, mataku tak sengaja melihat
sepasang kekasih. Wajahnya tak jelas karena malam hari. Namun serasa aku sangat
mengenal sosok lelaki itu. Ku pamit pada sepupuku untuk membuktikan
penglihatanku. Aku berjalan dengan pelan dan ku berdoa dalam hati.
“Tuhan,
ku harap itu bukan dia” kataku dalam hati
Aku
terus melangkah hingga ku sampai tepat di hadapan laki – laki itu. Aku
terkejut, begitupun dengan dia.
“Hai.
Ren.?” Sapaku dengan tetap tegar
“Lita”
Rendra berkata dengan gugup bagitu pula dengan gadis di sebelahnya ketika
mendengar namaku.
“Bareng
siapa Ren.?” Aku kembali bertanya
“Bareng
Synta, Lit. Kamu lagi ngapain disini.?” jawab Rendra
“Lagi
nemenin sepupu jalan – jalan” jawabku jujur
“Oh
gitu” Rendra menimpali ucapanku
“Ok.
Maaf yah ngeganggu. Aku kesana dulu yah” pamitku dengan menunjuk sepupuku yang
sedang menunggu.
Aku
pergi tanpa menunggu jawaban Rendra. Tak lama setelah duduk kembali Rendra
menghampiriku.
“Lit.
boleh bicara bentar nggak.?” Tanya nya hati – hati
Aku
melihat ke arah Mira sepupuku. Mira mengangguk. Aku berdiri dan berjalan
sedikit menjauh dari sepupuku. Aku duduk di salah satu meja. Rendra memulai
percakapan.
“Lit.
aku minta maaf yah.?”
“Maaf
untuk apa Ren.?” Aku berkata dengan sekuat tenaga ku tahan air mataku
“Maaf
untuk segalanya Lit” Rendra tertunduk
“Nggak
apa – apa kok Ren. Aku ngerti kok” kataku kembali. Aku masih mencoba untuk
tidak menangis dihadapan Rendra
“Aku
benar – benar minta maaf yah, Lit.?” Rendra kembali minta maaf
“Iya.
Nggak apa – apa kok Ren. Ok. Hubungan kita sampai disini Ren” kataku masih
dengan menahan tangisku yang ku rasa sebentar lagi akan pecah
“Iya
Lit. Ku harap kau jangan marah terhadapku” kata Rendra menatapku. Untung saja
malam hari, sehingga tidak mudah bagi Rendra melihat raut wajahku.
“Nggak
ada alasan Ren buat aku marah sama kamu” timpalku
“Thanks
yah, Lit.?”
Aku
mengangguk. Semakin lama aku disini semakin aku tak bisa menahan tangisku lagi.
Akhirnya aku memutuskan untuk pamit.
“Ren,
aku pergi dulu yah. Sepupu aku menunggu” pamitku seraya berdiri
“Ok
Lit.”
Aku
berjalan kembali menuju tempat sepupuku sedang duduk.
“Bagaimana.?”
Tanya Mira
“Udah
selesai kok” jawabku seadanya
“Gimana.?”
“Putus”
“Yah.
Udah yang sabar aja yah.?” Hibur sepupuku
“Iya”
Aku
kembali terdiam. Lama kami duduk diam, akhirnya kami memutuskan untuk pulang.
Keesokan
harinya. Di sekolah, sikapku tak berubah aku tetap menunjukkan sisi ceriaku,
aku tak ingin teman – teman mengetahui masalahku, aku tak ingin dianggap lemah.
Seminggu
telah berlalu. Hingga kini belum ada yang mengetahui masalah putusku dengan
Rendra. Bahkan teman dekatku Ririn dan Elsapun belum mengetahuinya.
Suatu
hari aku duduk ditaman depan kelas bersama Ririn dan Elsa. Berbagai cerita lucu
dan konyol terlontar dari mulutku. Hingga sakit perut melandaku di karenakan
terlalu banyak tertawa. Ririn dan Elsa juga tertawa namun tak seperti biasanya.
Aku merasa heran juga, namun ku abaikan perasaan itu. Setelah lelah tertawa
akupun terdiam mengatur nafasku yang belum teratur akibat tertawa.
“Lit.?”
Ririn memanggilku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan
“Ya.?”
Aku menjawab namun masih dengan senyum yang belum hilang
“Aku
salut sama kamu” Kata Ririn tertunduk
“Maksudmu.?
Hahaha. Karna aku hebat ngelawak gitu.?” Kataku dengan tertawa
“Apa.?
Nggak salah Lit.? emangnya apa yang mau dibanggakan dari hebatnya kamu ngelawak.?”
Kata Elsa yang ku rasa ia berkata sinis
“Yah
terus apa.?” Tanya ku dengan raut wajahku yang kini berubah menjadi serius
Keduanya
terdiam. Aku juga menunggu mereka.
“Aku
salut sama kamu Lit. Aku bangga sama kamu. Kamu hebat” kata Ririn yang ku lihat
ada air yang menggenang di pelupuk matanya
“Alasannya.?”
Tanyaku masih dengan raut seriusku
“Kami
udah tau Lit. seminggu yang lalu kau putus dengan Rendra” kata Elsa juga yang
berbicara dengan suara yang sudah mulai berubah
Aku
tertawa.
“Ya
ampun. Aku kirain apa. Aduh nyantai ajalah” kataku masih dengan tawaku
“Makanya
Lit. aku bilang kamu hebat. Kamu bisa mengatasi masalahmu sendiri, kamu bisa
kuat, kamu hebat. Kamu tidak mengikut sertakan kami dalam masalahmu.” Ku liht
air mata mentes dari mata Ririn.
“Nggak
usah sedih gitu deh Rin. Udahlah, yang lalu biarlah berlalu” Kataku sambil
memegang pundak sahabat ku Ririn
“Maafkan
kami Lit. Kami masih belum bisa mengenalmu, kau lebih banyak tahu tentang kami.
Di saat kami punya masalah, kau selalu menjadi orang yang pertama menyadarinya,
sedangkan disaat kau punya masalah, kami tidak menyadarinya” Elsa pun ikut terbawa
suasana sedih yang diciptakan Ririn
“Sudahlah.
Aku tidak apa – apa. Mungkin saja Rendra bukan yang terbaik untuk aku, dia
hanyalah pelengkap ceritaku” kataku mencoba menahan tangisku
Ririn
dan Elsa memelukku. Air mataku tak dapat ku bendung lagi.
“Maafkan aku sahabat. Bukan ku tak
ingin bercerita kepada kalian, tetapi aku tak suka terlihat lemah di hadapan
siapapun” kataku masih dalam pelukan sahabatku.
Hari
terus berlalu, luka yang ditinggal kan Rendra di hatiku perlahan terobati.
Semuanya berkat kehadiran sahabat – sahabatku yang selalu mendukungku.
Satu
tahun telah berlalu. Kini kami duduk dikelas 2 SMA. Aku sudah sembuh dari luka
buatan Rendra. Kini aku lebih fokus dengan sekolahku. Hingga suatu hari sewaktu
pulang sekolah aku melihatnya.
Saat
itu aku sedang menunggu jemputanku. Aku berdiri depan gerbang sekolah.
Sahabatku telah pulang lebih dulu. Awalnya Elsa ingin menemani ku namun papanya
punya urusan lain, jadi aku ditinggal sendiri. Saat itu iya sedang berjalan
dengan temannya. Aku berbalik ke arahnya dan saat itu iapun melihatku. Aku
tersenyum, ia juga membalas senyumku.
Sesuatu
yang aneh ku rasakan. Namun ku tepis perasaan itu. Dan tak lama setelah ia
berlalu, mamapun datang.
“Maaf
yah sayang mama telat ngejemputnya” kata mama saat aku sudah duduk di jok depan
di sebelah mama.
“Nggak
apa – apa kok ma” jawabku
Perjalanan
pulang aku hanya diam. Fikiranku kembali kepada kejadian tadi.
Keesokan
harinya disekolah. Aku dan sahabatku duduk di taman sekolah.
“Tak
terasa yah Lit” Ririn membuka pembicaraan
“Apaan
Rin.?” Tanyaku pada Ririn
“Nggak
terasa yah Lit, udah setahun kau putus dengan Rendra” Ririn menyambung
perkataannya
“Iya
yah. Nggak terasa” aku menimpali
Tiba
– tiba ku lihat dia yang kemarin melintas dengan temannya.
“Rin,?
El.? Kau kenal dengan orang yang disana.?” Tanyaku pada Ririn dan Elsa dengan
melihat ke dia yang kemarin
“Yang
mana Lit.?” Tanya Elsa
“Yang
tinggi itu loh, yang pakai sepatu warna hitam biru” kataku
“Kak’
Aldi.?” Tanya Elsa padaku
“Namanya
kak’ Aldi.? Kau mengenalnya.?” Tanyaku balik pada Elsa
“Tentu
saja Lit. Siapa coba yang tidak kenal kak’ Aldi.?” Kata Elsa sambil memuja yang
namanya kak’ Aldi itu.
“Buktinya
aku tidak mengenalnya El” kataku melotot pada Elsa
“Yah
karna kau terlalu menutup dari kehidupan sekitarmu Lit” Ririn juga mulai angkat
bicara.
“Yah.
Ok. Sekarang coba kalian jelaskan, mengapa kalian mengenal mereka.?” Tanya ku
pada sahabatku
“Hey
Lit. Itu kakak kelas yang paling keren menurut aku” kata Elsa masih dengan
memuja kak’ Aldi
“Alasannya.?”
Tanyaku lagi
“Lit.?
Nggak ada cewek yang nggak suka dengan kak’ Aldi. Nggak ada orang yang nggak
tergila – gila ngeliat kak’ Aldi” kata Elsa berbicara dengan kekaguman
“Nggak
usah segitunya deh El, buktinya Elo, gue, dan Lita nggak suka tuh sama kak’
Aldi” Kata Ririn angkat bicara
“Yah,
karna kita adalah kumpulan cewek tertutup dan selalu setia” kata Elsa memuja
kami
Yah,
seperti itulah. Elsa dan Ririn termasuk orang – orang yang setia. Buktinya
Ririn masih dengan Rio pacarnya sejak kelas 2 SMP. Dan Elsa dengan kak’ Denis
sejak pertama kali masuk SMA. Dan aku menutup diri sejak putus ku dengan Rendra
yang sekarang ku dengar Rendra masih bersama Synta.
“Lit.?”
Elsa membuyarkan lamunanku
“Ya.?”
Jawabku
“Kau
kenal kak’ Veby.?” Elsa bertanya kepadaku
“Yah.
Kak’ Veby yang kelas XII IPA plus.?” Tanyaku balik
“Ya.
Kak’ Veby sekelas kak’ Denis dan kak’ Aldi” Jawab Elsa
“Truss.?”
Aku kembali bertanya
“Dan
kau tahu Lit. Kak’ Veby pernah menyatakaan perasaannya kepada kak’ Aldi” kata
Elsa dengan kekaguman
“Benarkkah.?
Bukannya kak’ Veby itu pintar, cantik. Mengapa iya harus seperti itu” kataku
terkejut
“Yah,
seperti itulah kak’ Aldi. Dan lebih parahnya lagi Lit, kau tahu kak’ Aldi
menolak kak’ Veby” Elsa bebicara sangat heboh
“Nggak
usah heboh gitu deh El” kata Ririn memperingati
“Wow.
Benar – benar yah kak’ Aldi. Kok bisa nolak kak’ Veby” kataku masih dengan
keterkejutanku
“Yah.
Begitulah kak’ Aldi. Hingga sekarangpun iya belum memilki kekasih” kata Elsa
“Yang
benar.? Kok bisa sih.?” Tanyaku heran
“Nggak
tau juga sih Lit. Tapi rumor sih bilang, Kak’ Aldi masih sayang sama mantan
pacarnya waktu SMP” Elsa menjawab pertanyaanku.
“Tipe
setia banget yah” kataku dengan kagum
Kamipun
terdiam. Tak lama Kak’ Denis menghampiri kami.
“Uhuuukkk”
Aku pura – pura terbatuk. Kak Denis langsung mencubitku
“Apaan
sih.?” Katanya tersenyum
“Enak
yah Rin, kalau pacar sekolahan” kataku mennggoda kak’ Denis dan Elsa
Elsa
ikutan mencubitku.
“Jail
amet sih” kata Elsa malu – malu.
Aku
dan Ririn tertawa.
“Tumben
banget sih kak’ nggak bawa pasukan” kata Ririn
Aku
terdiam. Kini gilaranku dijaili.
“Iya
kak’. Kak’ Ben kemana.? Tumben nggak ada” Elsa juga ikutan
“Nggak
mau ikut katanya dek. Habis nggak ada respon dari orangnya sih” kata Kak; Denis
sambil tertawa melihatku
“Yee.
Habis kak’ Ben nya sih, nggak asik” kataku ikutan dengan candaan kak’ Denis dan
sahabatku
Kamipun
bercanda dan tertawa. Begitulah kami. Kak’ Denis sangat menyayangi Elsa
begitupun Elsa. Ririn dan Rio berbeda sekolah, namun tidak membuat hubungan
mereka hancur. Rio sangat perhatian. Pokoknya aku bangga dengan sahabatku, aku
senang karena mereka mendapatkan orang – orang yang tepat.
Hari
semakin berlalu. Sekarang aku menyadari bahwa aku menyukai kak’ Aldi. Namun
belum ku beritahukan kepada siapapun termasuk juga sahabatku.
Saat
aku dan sahabatku makan dikantin sekolah. Kak Aldi melintas. Aku tersenyum
kepadanya dan iapun membalas senyumku.
“Lit.?”
Elsa memanggilku
“Ya.?”
“Tadi
malam ada yang minta nomor ponselmu.?” Elsa mengaku
“Truss
kau berikan.?” Tanyaku
“Iya.
Sorry yah.?”
“Ok.
Nggak apa – apa. Emang siapa.? Tumben, biasanya kau meminta izin ku dulu”
kataku merasa heran namun tak apalah
“Kak’
Aldi” Jawab Elsa
Aku
dan Ririn terkejut. Aku terdiam.
“Yang
benar El.?” Tanya Ririn melotot kea rah Elsa
“Bener
Rin” jawab Elsa
“Tumben
banget El. Belum pernah tuh aku dengar kak’ Aldi minta nomor ponsel orang” kata
Ririn dengan kehebohannya
“Makanya
Rin. Aku heran, tanpa pikir panjang langsung ku beri saja” kata Elsa juga
dengan keheranannya
“Tapi
El, kok kak’ Aldi bisa tau nomor mu.?” Tanyaku heran
“Kan
udah lama Lit. Kak’ Aldi kan anggota club basket, temannya kak’ Denis” kata
Elsa mengingatkanku
“Oh
ya.? Aku tidak tahu” kataku cuek
“Ya.
Benar juga” kata Elsa malas dan kembali menyantap makanannya
Malam
harinya. Saat aku sedang mengerjakan tugas Fisika. Ponselku berdering. Ada
pesan masuk. Ku buka pesan masukku. Nomor baru yang tidak ku kenali.
From : 082234xxxxxx
Hy dek.?
Pesan
dari nomor tak ku kenali. Saat aku akan menyimpan kembali ponselku, aku
teringat dengan pembicaraan ku dengan sahabatku tadi di kantin sekolah. Akupun
membalas pesan itu.
To : 082234xxxxxx
Iya.Maaf.? Siapa.?
Selang
beberapa menit aku mendapatkan balasannya.
From : 082234xxxxxx
Kak’ Aldi. Temannya Denis.
Dan
ternyata dugaanku benar. Akhirnya percakapan itupun terus berlanjut.
Sejak
saat itu aku mulai dekat dengan kak’ Aldi. Tak jarang kak’ Aldi juga ikut
gabung ngumpul bareng aku dan sahabatku, dan tentu saja kak’ Denis juga.
Akhir
– akhir ini aku rentan sakit. Ku rasa aku mudah lelah. Memangsih ini sudah lama
terjadi namun dulu tak sesering sekarang. Ririn menyadari hal itu namun ku
sangkal dengan berbagai alasan. Mama juga menyadari perubahanku, karena aku
mudah lelah, sakit kepala, mual, dan lainnya. Mama menyarankan aku untuk chek
up. Awalnya aku tak mau. Aku takut jika aku di vonis dokter. Namun mama terus
membujuk dan mendorongku. Akhirnya aku mengikuti saran mama. Setelah diperiksa,
hasilnya belum keluar, Dr. Eris langganan mama meminta kami untuk datang dua
hari kemudian.
Hal
ini tak ku ceritakan kepada siapapun. Aku juga meminta mama merahasiakannya
dari siapapun. Dua hari kemudian aku dan mama mengambil hasil tes ku. Dan kini
ketakutanku menjadi kenyataan. Aku divonis dokter kanker otak stadium akhir.
Aku terkejut namun ku coba untuk tetap kuat. Saat aku pulang tak ada satu
katapun yang terlontar dari mulutku begitupun dengan mama.
Malam
harinya saat aku akan tidur mama menghampiriku.
“Udah
tidur sayang.?” Mama mengintip dari pintu kamarku yang terbuka sedikit
“Belum
ma” jawabku
“Mama,
boleh tidur bareng kamu.?” Tanya mama lagi
“Iya
ma” aku menjawab
Mama
menghampiriku dan tidur disebelahku. Mama memelukku. Aku menangis, namun tak ada
suara. Dan ku dengar pula isak mama.
“Sayang
yang sabar yah.?” Mama mengelus pundakku
“Iya
ma. Mama juga jangan sedih yah.?” Kataku pada mama dan masih dengan posisi
membelakangi mama.
“Kamu
sudah minum obat sayang.?” Mama kembali bertanya
“Iya
ma. Kok obatnya banyak yah ma.?” Kataku sedih, kini tak dapat ku sembunyikan
lagi tangisku.
Mama
menangis. Lama.
“Mama,
jangan cerita penyakitku pada siapapun yah ma.? Terutama pada sahabat –
sahabatku dan kak’ Aldi” pintaku pada mama
“Kenapa
sayang.?” Mama heran
“Aku
tidak suka ma, terlihat lemah dihadapan mereka. Aku tidak suka dikasihani. Aku
tidak suka dianggap lemah. Cukup di depan mama saja aku terlihat lemah” jelasku
pada mama yang ki tak kubelakangi lagi
Mama
mengiyakan permintaanku yang perkataannya hampir tak terdengar akibat tangis.
Ku hapus air mata mama. Mama memelukku. Aku tenggelam dalam pelukan mama hingga
pagi tiba.
Sekolahku
berjalan seperti biasanya. Kini telah seminggu berlalu. Di hari minggu Ririn,
Elsa, Rio, Kak’ Denis, dan kak’ Aldi datang ke rumahku. Kami berencana ngumpul
dan bercerita. Lama kami bercerita, mama sudah membuatkan kami cemilan.
“Lit.?”
Ririn memanggilku
“Ada
apa.?” Tanyaku
“Laptop
kamu mana.?” Ririn bertanya lagi
“Dikamar.
Ambil aja” jawabku
Ririn
berjalan menuju kamarku. Setelah dari kamar ku lihat raut wajah Ririn berubah
dan ku tepis perasaanku. Mungkin hanya perasaanku saja.
Setelah
lama. Rio, Kak’ Aldi, dan Kak’ Denis pulang. Aku mengantarnya hingga gerbang
depan bersama Elsa. Sedangkan Ririn menungguku dikamarku.
Saat
aku masuk ke kamar bersama Elsa. Ku lihat Ririn duduk ditempat tidurku dengan
air mata. Dan ku lihat apa yang di pegangnya, seketika aku pucat.
“Ada
apa Rin.?” Tanya Elsa heran, melangkah masuk kedalam kamar dan menghampiri
Ririn. Aku masih terdiam berdiri dipintu kamarku.
“Lit.
please. Jelaskan apa ini.?” Ririn meminta penjelasanku dengan obat – obatanku
di acungkannya dan dengan tangisnya.
Aku
menghampiri sahabatku. Elsa masih bingung. Ia masih belum menyadari keadaan.
“Maaf,
Rin. Bukan aku ingin menyembunyikan semuanya dari kalian. Tapi aku punya
alasan, dan ku harap kalian bisa memahamiku” kataku sambil duduk dimeja
belajarku.
“Obat
apa ini Lit.? kau Sakit.?” Elsa yang mulai menyadari perkataanku kini mulai
menangis
“Maaf
El” Aku berkata dengan kepala tertunduk.
“Kau
sakit apa Lit.?” Ririn kembali bertanya, kini tangisnya semakin menjadi.
“Kanker
otak stadium akhir” kataku masih dengan kepalaku tertunduk.
Elsa
dan Ririn terkejut dan kemudian mereka menghampiriku dan memelukku. Kamipun
tenggelam dengan tangis yang baru saja kami ciptakan.
Setelah
tangis kami redah kami duduk di tempat tidurku.
“Sejak
kapan Lit.?” Ririn menanyakan penyakitku
“Nggak
tau Rin. Aku baru tahu seminggu yang lalu” Ungkapku jujur
“Dan
lagi. Lagi. Kami tak menyadarinya Lit” Elsa kembali menyalahkan diri
“Sudahlah.
Dan aku minta sama kalian, jangan beritahu siapapun yah.? Terutama kak’ Aldi”
pintaku pada sahabatku
“Kenapa.?”
Tanya Elsa
“Aku
tidak ingin mereka ikut larut dalam kesediahanku. Dan lagi aku punya alasan El”
jelasku pada sahabatku
“Ok.
Kami mengerti Lit. kami akan merahasiakannya” Ririn menjawab permintaanku
“Lit.?
kau suka kak’ Aldi.?” Tanya Elsa
“Jawab
jujur Lit” pinta Ririn
Aku
merasa wajahku panas, namun aku akan berkata jujur. Aku tidak akan
merahasiakannya lagi pada sahabatku.
“Yah.
Aku menyukainya. Sangat. Sangat. Sangat. Menyukainya” Ungkapku jujur
Kedua
sahabatku tersenyum mendengar penuturanku.
“Sejak
kapan.?” Tanya Elsa
“Sejak
pertama kali ku lihat dia di depan gerbang sekolah” jawabku
Kedua
sahabatku kembali memelukku.
“Aku
senang mendengarnya Lit” kata Ririn
“Jangan
beritahu kak’ Aldi yah.?” Pintaku lagi
“Ok”
jawab kedua sehabatku
Seminggu
berlalu. Suatu ketika. Aku, sahabatku, kak’ Denis, dan kak’ Aldi sedang ngumpul
ditaman kak’ Aldi menyatakan perasaannya kepadaku. Dihadapan semuanya.
“Lit.?
Maukah kau menjadikanku orang yang berbeda dikehidupanmu.?” Tanya Kak’ Aldi
padaku. Awalnya aku tidak mengerti. Lama ku cerna perkataan kak’ Aldi.
“Lit.?
Bisakah aku menjadi orang special di hari – harimu.?” Tanya kak’ Aldi lagi
Aku
terdiam. Semuanya juga terdiam. Mereka tidak menyangka kak’ Aldi sehebat dan
sekeren ini.
Lama
mereka menunggu jawabanku. Hingga ku menjawab …….
“Kak’.?
Aku minta maaf. Aku tidak bisa. Aku menyukai seseorang” Jawabku berbohong.
Semua
orang terkejut dengan perkataanku. Elsa ingin angkat bicara namun dihentikan
oleh Ririn.
“Siapa
dek.?” Tanya kak’ Aldi dan ku dengar suara itu berubah
Aku
hanya terdiam.
“Baiklah
dek, kalau kau tak ingin menjawab. Terima kasih atas jawabannya. Aku terima
kok” kata kak’ Aldi. Yang kemudian berdiri dan pergi.
“Maaf kak’, aku bukan tidak
menyukaimu, namun aku tidak bisa menerimamu dengan keadaanku yang sekarang”
kataku dalam hati sambil melihat puggung kak’ Aldi semakin menjauh.
Kak’
Denis juga pamit. Ia mengejar kak’ Aldi. Setelah keduanya pergi. Elsa langsung
menghantamku dengan pertanyaan.
“Kenapa
Lit.? Ada apa.? Kenapa kau menolaknya.?” Kata Elsa memegang kedua lenganku
“Sabar
El. Lita pasti punya alasan” kata Ririn menenangkan Elsa
“Maaf.
Aku benar – benar minta maaf” kata ku tertunduk
“Ok.
Lita. Kau tak perlu meminta maaf kepada kami. Itu hakmu. Kami tidak memaksamu.
Kami hanya ingin alasanmu” kata Ririn lembut
“Pantaskah
aku menjadi kekasihnya, El. Rin.? Dengan keadaanku yang sekarang.? Bisakah aku
mendampinginya.? Dapatkah aku membahagiakannya.? Jika suatu saat nanti terjadi
sesuatu denganku, tidakkah dia akan terluka banyak.?” Kataku dengan bercucur
air mata. Elsa dan Ririnpun menangis. Mereka menunduk.
“Lit.
bukannya sekarang kak’ Aldi sudah sakit.?” Elsa kembali bertanya
“Aku
tahu El. Tapi bukannya lebih baik iya sakit sekarang daripada nanti.? Bukannya
ia lebih baik sakit diawal dari pada diakhir.?” Tanya ku balik
Kami
semua tertunduk.
“Aku
masih belum bisa menerima keputusanmu Lit” kata Elsa
“El.?
Jika hal seperti inipun terjadi kepadaku. Aku juga akan mengambil keputusan
seperti Lita” kata Ririn
“Kenapa.?”Elsa
kembali bertanya
“El.
Semua orang ingin membahagiakan pasangannya. Semua orang ingin selalu melihat
pasangannya tertawa. Semua orang tidak ingin melihat pasangannya sedih dan
larut dalam kesedihan dan penderitaan yang dialaminya.” Tutur Ririn pada Elsa
Elsa
terdiam. Ia memikirkan perkataan ku dan Ririn.
“Ok.
Aku mengerti sekarang Lit. Maaf yah aku tidak cepat memahami.?” Pinta Elsa
padaku
“Iya.
Nggak apa – apa. El” kataku dengan senyum
Kini
semuanya berakhir. Itu keputusanku. Aku sangat menyukai kak’ Aldi. Sangat.
Sangat. Menyukainya, namun ku tak bisa menjadikannya kekasihku. Aku akan
menjadikannya sahabatku dengan rasa yang berbeda. Hubunganku dengan kak’ Aldi
sebagai sahabat. Hanya Sebatas Itu. :)
~
S E L E S A I ~
~Ozoga~