Hay.?

Aku dengan caraku. Karena Aku Berbeda.
Aku Berbeda. Maka Bedakan Aku

Sabtu, 06 September 2014

TAMAN KERINDUAN



TAMAN KERINDUAN
Seorang gadis yang mungkin berusia 15 tahun, sedang duduk sendiri dibangku taman kota. Sebentar – sebentar ia mengaduk – aduk es krim yang ada di tangannya lalu memandanginya, entah apa yang ada dibenaknya. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang. Ada rasa lelah dan letih yang terpancar dari wajahnya, mungkin ia sudah menunggu terlalu lama. Ketika ia akan beranjak dari tempat duduknya seseorang menyerukan namanya.
“Jinaaannnn.?” Teriak seorang cowok yang mengenakan celana Jins dan T-Shirt.
Seketika langkah kaki gadis tersebut terhenti, ia berbalik melihat cowok yang memanggilnya dan sedang berlari ke arahnya. Aku berfikir mungkin dia adalah kekasihnya. Aku mencoba iseng mendekati mereka, aku duduk di bawah pohon yang rindang tak jauh dari mereka.
“Maafkan, aku Jinan. Aku membuatmu menunggu lama” sesal cowok itu
“Tidak apa – apa Rifqy” kata gadis bernama Jinan itu yang diiringi dengan senyuman
“Kau tak marah kan.?” Tanya cowok bernama Rifqy.
“Bagaimana mungkin aku bisa marah pada sahabatku Rifqy” kata gadis itu lagi dan senyumpun tergores dibibir mereka.
Nama gadis itu adalah Jinan dan cowok itu adalah Rifqy, keduanya adalah sahabat. Mereka duduk berdua, bertukar cerita, namun aku melihat Rifqy lebih banyak bercerita dibandingkan dengan Jinan, sesekali mereka tertawa. Aku memandangi Jinan, gadis lembut dengan senyum yang lembut pula. Ia menatap Rifqy penuh dengan kelembutan, ada sesuatu yang tersembunyi dari sudut matanya dan caranya melihat Rifqy. Ia begitu serius menyimak cerita Rifqy, seakan ia tak ingin melewatkan satu katapun. Hingga matahari akan kembali ke perpaduannya barulah mereka kembali.
Keesokan harinya, saat aku kembali duduk dibawah pohon yang kemarin. Aku melihat Jinan berjalan mendekati bangku tempat ia duduk kemarin. Lagi – lagi ia ke taman kota. Tak lama Rifqypun datang, namun kali ini ia tidak sendiri. Rifqy bersama seorang gadis. Aku refleks melihat ke arah Jinan. Dan saat itulah aku melihat wajah Jinan yang memancarkan perasaan cemburu. Kini aku mengerti, ternyata Jinan menyukai Rifqy sahabatnya.
“Kau sudah menunggu lama Jinan.?” Tanya Rifqy ketika ia sudah berjarak lebih dekat dengan Jinan.
“Tidak. Aku baru saja sampai” jawab Jinan di iringi senyuman
“Baguslah kalau seperti itu. Oh iya, kenalkan Jinan ini Hana pacarku dan Hana ini Jinan sahabatku” kata Rifqy memperkenalkan
Jinan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dan Hana menerimanya.
“Jinan” kata Jinan memperkenalkan
“Hana” balas Hana.
Merekapun duduk bertiga dibangku kota. Aku memandangi mereka, semua terlihat bahagia, hanya saja ada yang berbeda dengan Jinan hari ini. Saat aku melewati mereka ketika menghampiri penjual es krim, aku merasakan ada aura kesedihan dari Jinan. Dan keyakinanku bertambah bahwa Jinan menyukai Rifqy semakin besar.
Dihari minggu sore, aku terkejut dengan pemandangn yang kulihat saat akan kembali duduk di bawah pohon rindang di taman kota. Saat itu aku melihat, Jinan dan Rifqy bertengkar. Jinan seperti menjelaskan sesuatu pada Rifqy namun Rifqy tetap marah. Dan aku lebih terkejutnya lagi, saat itu ternyata Jihan sedang menangis. Hingga Rifqy melangkah pergi, Jinan berteriak memanggil Rifqy.
“Rifqy  tungguuuuu …… aku bisa jelasin semuanya” teriak Jinan yang diabaikan oleh Rifqy. Jinan terus saja berteriak menyerukan nama Rifqy namun Rifqy sudah pergi. Jinan hanya bisa duduk menangis.
Setiap hari aku mengunjungi taman kota hanya sekedar duduk memperhatikan Jinan yang duduk menunggu Rifqy yang tak kunjung datang. Kini sudah 3 minggu sejak pertengkaran Jinan dan Rifqy, dan selama itu pula Jinan menunggu. Setiap hari ia duduk menunggu Rifqy dan akan kembali ketika menjelang malam dengan kekecewaan. Hingga diminggu keenam aku memberanikan diri menghampiri Jinan.
“Hai.?” Begitu caraku menyapanya pertama kali. Dan dia memandang ke arahku, lalu tersenyum.
“Boleh aku duduk.?” Tanyaku meminta izin
“Boleh” jawabnya sambil bergeser sedikit ke kiri. Aku duduk disebelah kanannya.
 “Abiy. Abiy Zaky” kataku memperkenalkan dan mengulurkan tanganku.
“Jinan. Jinan Lahfah” jawabnya membalas uluran tanganku.
“Nama yang indah” kataku memuji
“Terima kasih”
“Kau sedang menungggu seseorang.?” Tanyaku seolah tak tahu
“Ya” jawabnya singkat
“Bisakah aku menemanimu menunggunya.?” Tanya ku lagi
Ia memandangiku, lalu kembali beralih.
“Tidak” jawabnya. Aku terkejut.
“Kenapa.?” Tanyaku lagi
“Kau mengganggu ketenanganku” Jawabnya tanpa kusangka
“Baiklah aku akan pergi” kataku kemudian dan pergi.
Kini sudah satu tahun berlalu dan selama itu pula aku memandangi Jinan dari kejahuan yang sedang menunggu Rifqy sahabatnya yang ia sukai. Hingga suatu ketika, di hari sabtu sore aku tidak melihat Jinan dan hingga malam pun tiba aku tak kunjung melihatnya. Keesokan harinya kembali aku tidak melihat Jinan. Aku mulai bertanya – Tanya.
“Apakah ia sudah lelah menunggu.? Ataukah ia sudah bertemu dengan Rifqy.?”
Meskipun aku bertanya seribu kali, tak akan ada yang bisa menjawabku. Hingga sepasang remaja lewat.
“Kau lihat kemarin kan.?” Tanya laki – laki  itu pada sang gadis disebelahnya
“Ya. Aku melihatnya. Dia pergi dengan senyum menyedihkan, aku sampai – sampai menestakan air mata” jawab sang gadis
“Kau tahu.? Aku sering melihatnya duduk di taman ini. Mungkin ia menunggu seseorang” kata laki – laki itu lagi
“Benarkah.? Kasihan dia”
Aku berdiri menghampiri sepasang remaja tersebut.
“Maaf.?” Kataku mencegat mereka
“Ya ada apa.?” Tanya sang gadis padaku
“Saya tidak sengaja mendengar percakapan kalian. Bolehkah saya bertanya.?” Tanyaku
“Iya” kini laki – laki tersebut menjawabku
“Apakah yang kalian maksud adalah gadis yang setiap hari duduk disana.?” Tanyaku sambil menunjuk bangku dimana Jinan sering duduk.
“Ya. Apakah anda mengenalnya.?” Jawab laki – laki itu lagi
“Ya. Apa yang terjadi dengannya.?” Tanyaku lagi
“Kemarin iya tertabrak mobil truk. Dan ia meninggal di tempat kejadian” Jawab laki – laki itu lagi
Kemudian aku berterima kasih dan membiarkan sepasang kekasih itu melangkah pergi. Aku sangat sedih mendengar berita ini, aku duduk dibawah pohon, mengingat – ingat wajah Jinan dan tanpa ku sadari air mataku menetes. Kini aku sadar bahwa aku menyukai sosok Jinan yang lembut.
Waktu terus berlalu, kini sudah seminggu kepergian Jinan. Aku benar – benar merindukan sosok Jinan. Dulu, disini Jinan menunggu Rifqy dengan kerinduan yang mendalam, sekarang aku yang merindukan Jinan. Taman ini menjadi taman kerinduan seperti nama yang di miliki Jinan. Jinan Lahfah, Taman Kerinduan.


~Selesai~


~Ozoga~

ITU PILIHANMU



ITU PILIHANMU
“Ditaaaaaaaaa….!!!!!!!!” Teriakan itu menyakiti telingaku
“Mengapa kau harus berteriak Fita.? Aku tepat berada dihadapanmu” Aku sedikit marah dengan Fita yang membuat telingaku sakit dengan teriakannya.
“Andai saja kau tidak melamun, aku tidak akan berteriak Dita.!!! Apa sih sebenarnya yang kau lamunkan? Hingga aku memanggilmu berkali – kali kau tidak mendengarnya.? Dan itu buku, kau membacanya atau tidak.?” Kini Fita melotot dan berkacak pinggang di hadapanku.
“Ada apa kau memanggilku.?” Aku mengabaikan pertanyaan Fita. Fita hanya menarik nafas mendengar pertanyaanku yang mengabaikan pertanyaannya.
“Kak Ardi mencarimu”
“Kak Ardi.? Mengapa ia mencariku.?” Tanyaku kembali dengan keheranan
“Hello.? Aku bukan kak Ardi Dita yang bisa menjawab pertanyaanmu.!!!”
Aku mengabaikan perkataan Fita. Aku duduk bersandar dikursiku dan membuka novel yang sedari tadi ku pegang tanpa membaca.
“Hei.?” Fita mengibaskan tangannya dihadapanku
“Ada apa lagi sih Fit.?” Aku mulai marah pada Fita yang mengganggu ketenanganku
“Kau tak pergi.?”
“Ya.Aku terlalu malas untuk bergerak” jawabku
Fita hanya menggeleng dan duduk dikursi sebelahku. Fita adalah sahabatku sejak kecil, rumah kami berdekatan. Mama Fita bersahabat dengan mamaku, sejak kecil aku selalu bersama dengan Fita, satu sekolah dengannya sejak Taman kanak – kanak hingga kini kami duduk dibangku kelas 1 SMA. Selain Fita adalah sahabatku, dia juga adalah orang aku kagumi. Fita selain pintar, ia juga rajin dan hebat membagi waktunya. Fita mengikuti banyak eskul, nyaris setiap sore ia ke sekolah. Aku terkadang heran dan bertanya pada diriku sendiri. Kapan ia beristirahat.? Pagi hingga pukul 15.00 kami bersekolah, pukul 13.40 eskul dan pulang pukul 18.00, malam harinya belajar dan mengerjakan tugas – tugas sekolah. Dimana waktu istirahat Fita.? Aku menarik nafas mengingat jadwal Fita yang menurutku jika aku jadi dia, sudah sejak lama aku mati. :-D
Bel berbunyi menandakan waktu istirahat habis. Aku menutup novel yang tidak ku baca
“Lagi – lagi kau melamun Dita” Fita kembali menegurku, aku hanya tersenyum mendengar perkataan Fita.
“Apa sebenarnya yang kau lamunkan Dit.? Kau punya masalah.?” Fita kembali bertanya. Aku menatap matanya. Beginilah Fita, ia selalu mengkhawatirkanku.
“Tidak ada Fit” kataku sambil tersenyum
“Kau yakin.?”
“Iya”
“Ya sudahlah, kalau kau punya masalah, jangan sungkan bercerita yah.?” Kini Fita juga tersenyum.
“Ok” kataku balas tersenyum dan mengacungkan jariku membentuk huruf O.
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, bel pulang pertanda berakhirnya pelajaran untuk hari ini. Aku berjalan menuju parkiran bersama Fita.
“Dita.?” Seseorang memanggilku, aku menoleh dan ternyata Sisi dan Fei.
“Ada apa Fei.?” Tanyaku pada Fei saat jarak mereka denganku dekat.
“Tadi aku, sisi, dan Robi sepakat mengerjakan tugas Bahasa Indonesia di rumah Sisi, pukul 4 sore nanti” Kata Fei menjelaskan.
“Aduuuhhh. Bagaimana ini.?” Tanyaku pada diri sendiri
“Ada apa memangnya Dit.?” Kini Sisi bertanya padaku
“Pukul 4.30 sore nanti aku ada eskul Teater dan pulangnya pukul 5.30. Bagaimana ini.? Bisakah aku tidak datang.?” tanyaku pada Fei dan Sisi
“Kamu boleh saja datang atau tidak, tapi dengan catatan kalau kamu tidak datang berarti nama kamu tidak dimasukkan dalam kelompok” jelas Fei
“Yah. Bagaimana kalau pukul 7 malam saja mulainya, aku usahakan datang” kataku menawarkan
“Yah sudahlah kalau begitu, kebetulan malam nanti aku tidak ada acara dan sepertinya Sisi juga tidak ada kan.?” Tanya Fei pada Sisi.
“Ya” jawab Sisi singkat
“Ya sudah. Kami tunggu kamu pukul 7 malam nanti” kata Fei kemudian
“Ok” jawabku
Merekapun pergi.
Setelah sampai dirumah aku makan dan berganti pakaian lalu berangkat ke sekolah eskul Teater. Aku pulang pukul 5.30. Sesampainya di rumah aku langsung saja menuju kamar dan menghempaskan badanku di tempat tidur. Hari ini benar – benar melelahkan. Aku berniat tidur namun aku mengingat ini sudah sore dan menjelang maghrib, jadi ku batalkan niat ku untuk tidur. Setelah Sholat maghrib, aku teringat dengan janjiku tadi siang sepulang sekolah.
“Aduhhh, bagaimana ini.? Aku terlalu lelah untuk pergi” batinku
“Tapi, kalau aku tidak pergi tugasku bagaimana.?” Tanyaku kembali pada diri sendiri
Hingga jarum jam menunjukkan pukul 18.45 WITA aku memutuskan untuk tidak pergi.
“Biarlah, tugasku bisa ku kerjakan nanti saja. Aku terlalu lelah untuk hari ini” Batinku.
Aku kemudian melangkah ke meja belajarku dan melihat roster untuk besok.
Matematika
Bahasa Indonesia
Kimia
Biologi
Sejarah Indonesia
“Ya ampuuuuunnnnnnnn……..” teriakku dalam hati
Besok ada ulangan Biologi dan Sejarah Indonesia, lalu ada tugas Matematika dan Kimia. Saat itu juga aku membuka buka matematika namun aku berubah fikiran dan mengerjakan tugas kimia. Setelah itu aku belajar Biologi dan Sejarah Indonesia. Namun aku lupa mengerjakan tugas Matematika karena kelelahan.
Keesokan harinya. Saat aku baru saja akan meletakkan tasku. Fei memanggilku.
“Dita.?” Panggil Fei
“Ada apa Fei.?” Tanyaku seolah tidak tahu, padahal aku sudah tahu apa yang akan Fei tanyakan.
“Semalam, kenapa kamu tidak datang.?” Tanya Fei dan dugaanku benar
“Maaf Fei. Semalam aku kelelahan jadi tidak bisa datang” jelasku
“Jadi bagaimana ini.? Berarti nama kamu tidak bisa dimasukkan dalam tugas kali ini” kata Fei
“Yah, mau bagaimana lagi” kataku pasrah
“Ya sudah deh, aku tidak bisa membantu ini sudah keputusan kita dari awal. Jadi tugas kali ini nama kamu tidak dimasukkan” Jelas Fei
“Iya” kataku singkat
Feipun melangkah pergi.
“Kau tidak mengerjakan tugas Bahasa Indonesiamu.?” Tanya Fita
“Ya” jawabku singkat
“Kalau Matematika bagaimana.?” Fita kembali betanya
“Sama” jawabku lagi
“Yah sudah. Ini buku ku, cepat salin lah” kata Fita menawarkan
“Tidak Fit. Aku terlalu malas untuk mengerjakannya” kataku kemudian dan Fitapun diam.
Seharian aku kena marah. Dimulai dari jam pelajaran matematika aku dimarahi abis – habisan dengan Pak Tarto dan berakhir dikeluarkan dari kelas selama jam pelajaran Matematika. Kedua Ibu Rena juga memarahi karena tidak ikut mengerjakan tugas bahasa Indonesia dan lagi berakhir dikeluarkan dari kelas. Dan hari ini aku menjadi penghuni kantin yang paling lama.
Sesampainya di rumah aku langsung tidur. Aku terlalu lelah untuk hari ini. Aku terbangun ketika matahari mulai kembali ke perpaduannya. Aku berjalan menuju kamar mandi dan melewati Ibunda yang sedang memasak di dapur.
“Sudah bangun yah Dinda.?” Tanya Ibunda
“Iya Bunda” kataku singkat
Aku tinggal berdua bersama Bunda. Aku anak tunggal, 3 tahun yang lalu saat aku duduk dibangku kelas 1 sekolah menengah pertama, disaat – saat dimana aku menjadi siswi baru dan merasakan sekolah yang sangat asing bagiku, ayahku meninggal karena kecelakaan lalu lintas yang membuatnya meninggal di tempat kejadian. Aku terkejut dengan kejadian tersebut. Berhari – hari aku tidak masuk sekolah, namun Bunda terus saja menyemangati walaupun ku tahu Bunda juga masih sedih dengan kepergian sosok ayah dalam kehidupan kami. Bunda selalu tersenyum dan terlihat tegar, sehingga akupun tidak ingin mengecewakan Bunda dan memutuskan kembali bersekolah. Waktu terus berjalan kamipun mulai merelakan kepergian Ayah dan menjalani hidup berdua, meskipun sesekali aku merindukan sosok ayah yang selama ini selalu menyayangiku dan Bunda ataupun aku iri ketika aku melihat teman – temanku dijemput oleh ayahnya sepulang sekolah.
Lama aku berdiam dikamar mandi, aku kembali menangis mengingat ayah yang terlalu cepat meninggalkan kami dan mengahadap-Nya.
Setelah sholat maghrib bersama bunda, kamipun makan. Karena besok hari minggu aku dan bunda duduk berdua di teras rumah.
“Dinda.?” Panggil Bunda lembut. Bunda jika dirumah memanggilku Dinda. Sewaktu aku menanyakannya Bunda berkata itu panggilan sayangnya kepadaku.
“Iya, Ada apa bunda.?” Tanyaku balik
“Ada kejadian apa disekolah hari ini.?” Tanya bunda lagi. Aku tertegun dengan pertanyaannya. Aku tidak bisa berbohong pada bunda. Aku diam dan bunda masih menatapku lembut menunggu jawabanku. Ibu Rena pasti memberitahu Bunda. Ibu Renakan temannya Bunda.
“Aku dikeluarkan dari kelas Matematika dan Bahasa Indonesia” jawabku jujur
“Kok bisa Dinda.?” Tanya Bunda dan masih dengan kelembutannya
“Aku tidak mengerjakan tugas Bunda” jawabku lagi dengan menunduk
“Jangan menunduk, Dinda. Ayo jelaskan pada bunda. Mengapa Dinda tidak mengerjakan tugas sekolahnya.?” Tanya bunda
“Aku terlalu lelah bunda” kataku. Bunda diam menunggu kelanjutan penjelasanku.
“Kemarin ada eskul teater bunda, terus besokanya ada ulangan Biologi dan Sejarah Indonesia. Ada tugas kimia, matematika, dan Bahasa Indonesia. Tugas bahasa Indonesia itu tugas berkelompok dan bagi yang tidak datang mengerjakannya namanya tidak akan dimasukkan. Terus karena kelelahan aku lupa mengerjakan tugas matematika” jelasku
“Mengapa tugasnya tidak di kerjakan jauh hari sebelumnya dinda.?” Tanya Bunda lagi
“Tidak ada waktu bunda, selalu saja ada tugas dan eskul. Aku lelah bunda” kataku yang ku rasa suaraku mulai meninggi dan akupun menunduk
“Seharusnya dinda, bisa membagi waktunya” kata Bunda
“Tidak bunda. Guru saja yang tidak bisa memahami kami dan memberikan kamu banyak tugas” kataku
“Jangan seperti itu Dinda” nasehat Bunda
Aku menarik nafas dalam – dalam.
“Dinda.?”
“Ya ibunda.?”
“Dinda tidak boleh mengeluh, dinda harus semangat” kata bunda
“Tapi Dinda lelah bunda, Dinda capek” keluhku yang kurasa mataku mulai memanas.
“Dinda tidak boleh seperti itu, Dinda sendiri yang ingin bersekolah di SMA unggulan, Bunda tidak pernah meminta Dinda bersekolah disana. Dinda sendiri yang memilih, dinda sendirilah yang memilih jalannya dinda” kata bunda menasehatiku. Aku hanya diam.
“Dinda sudah besar, sudah tahu mana yang terbaik buat dinda. Bunda rasa dinda memilih bersekolah disana karena menurut dinda itu jalan yang terbaik buat dinda. Bukan seerti itu dinda.?”
“Iya bunda” jawabku
“Dinda yang memilihkan.?” Tanya bunda lagi
“Iya bunda” jawabku kembali
“Jadi dinda harus menerima dan bertanggung jawab dengan pilihan dinda. Dinda tidak boleh mengeluh, dinda harus semangat, dinda harus melaksanakan kewajiban dinda sebagai pelajar dan orang terpelajar” nasehat bunda
“Iya bunda. Maafkan dinda, dinda tidak bertanggung jawab” kataku. Air mataku sudah menetes sedari tadi. Bunda memelukku.
“Tidak apa – apa dinda. Bunda sudah memaafkan Dinda” kata bunda
“Dinda janji tidak akan mengulangi perbuatan dinda dan dinda akan lebih bertanggung jawab” janjiku pada bunda.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi tidak mengerjakan tugas – tugas sekolah. Benar kata bunda, aku yang memilih jalanku dan aku harus bertanggung jawab, tidak boleh mengeluh dengan apa yang telah ku pilih. Aku juga tidak ingin mengecewakan Bunda. Aku teringat pesan Ayah sewaktu pertama kali masuk SMP,  iya mengantarku ke sekolah.
“Belajar yang benar yah Sayang. Jangan kecewakan ayah dan Bunda”


~Selesai~


~Ozoga~

ANINDITA



ANINDITA
Ailin menatap langit malam melalui jendela kamarnya, tidak peduli rasa dingin yang menembus tulang iganya, tidak peduli esok ia akan sakit karena masuk angin, ia masih saja memandangi langit malam yang dihiasi bintang – bintang. Air matanya terus saja menetes, ia tak mencoba menghentikannya. Ia merindukan seseorang yang nyaris 11 tahun selalu bersamanya. Rasa marah dan perasaan bersalah terus saja menghantuinya. Namun penyesalan, rasa marah, dan perasaan bersalah tak mampu mengembalikan sosok sahabatnya.
Anindita sahabatnya yang baik dan periang, ia mengenalnya ketika berumur 3 tahun saat itu Anindita menjadi tetangga barunya. Anindita selalu menemani Ailin ke manapun Ailin meminta. Anindita adalah sosok sahabat yang tak akan bisa ditemui dimanapun.
Kejadian 1 tahun lalu, hari dimana sahabatnya Anindita pergi meninggalkannya karena rasa egoisnya. Kejadian itu masih tertata rapi dalam ingatannya.
Satu tahun yang lalu, hari kejadian …..
“Hai. Lagi ngapain Lin.? Sepertinya kau sedang senang” Sapa Anindita saat baru tiba dikelas dan meletakkan tasnya.
“Ya. Hari ini aku benar – benar senang Anindita” kata Ailin
“Apa yang membuatmu senang, wahai sahabatku Ailin.?” Tanya Anindita lagi dengan berkacak pinggang
“Hayooo, coba tebak.?” Ailin mencoba berteka – teki
Anindita diam berfikir.
“Jangan bilang kau sudah dapat novel Thalita karya Stephanie Zen.?” Teriak Anindita antusias
“Ya. Kau benar. Ini.!” Balas Ailin dengan antusias pula sambil mengacungkan novel Thalita.
“Waahhhh. Dari mana kau mendapatkannya.?” Tanya Anindita dengan membolak – balikkan novel Thalita yang sudah ada di tangannya.
“Kemarin waktu temanin nyokap nyari buku resep, tuh malah ketemu” jawab Ailin
“Yah udah deh, habis kamu, aku yang baca” kata Anindita
“Novel Luna Torashyngu yang D’Angel, kamu udah baca.?” Tanya Ailin
“Hahaha. Belum” jawab Anindita tertawa
“Hhhhh” desah Ailin, Anindita hanya tersenyum
“Oh iya Ailin. Temani aku ke toko boneka sepulang sekolah yah.?” Pinta Anindita
“Memangnya mau ngapain.?” Tanya Ailin balik
“Pengen beliin Salsa boneka. Besok dia ulang tahun” jelas Anindita
“Aduuhh gimana nih Dit. Aku pengen pulang cepat, aku pengen nyelesaiin novel ini cepat – cepat” kata Ailin menolak
“Yah, Cuma bentar aja kok” Pinta Anindita lagi
“Kamu pergi sendiri aja yah, aku juga lagi malas jalan – jalan pengennya langsung pulang aja” Dan lagi Ailin menolak
“Ya udah deh” kata Anindita kecewa.
Sepulang sekolah mereka pulang, mereka jalan bersama dan akan berpisah di depan toko buku. Anindita akan ke seberang jalan menuju toko boneka sedangkan Ailin akan terus berjalan pulang. Sebelum menyebrangi jalan Anindita sekali lagi bertanya.
“Ailin.? Kau benar tidak ingin menemaniku.?” Tanya Anindita dengan kesedihan di wajahnya
“Iya Anindita. Berapa kali sih aku harus bilang” jawab Ailin dengan nada suara yang sedikit meninggi
“Ya udah deh” kata Anindita melemah
Ailin berjalan pergi namun baru selangkah ia melangkah, suara rem mobil berdesit menghentikannya. Seketika ia terdiam kaku. Perlahan ia membalikkan badannya dan dilihatnya Anindita yang terbaring di jalanan dengan darah yang terus keluar dari kepalanya. Ailin tahu, Anindita menderita penyakit Hemofilia. Refleks Ailin berteriak.
“ANINNNDITAAAAAA ……” teriak Ailin kemudian berlari menghampiri Anindita.
Ailin membangunkan Anindita tidak peduli darah mengotori seragam sekolahnya.
“Anindita bangun” perintah Ailin dengan air mata yang terus saja menetes dari kedua pelupuk matanya. Diguncangkannya badan Anindita. Perlahan ia melihat mata Anindita terbuka.
“Anindita” panggilnya
“Aaai…lin. Ma..afkan A…k..u” kata Anindita terputus – putus
“Tidak Anindita. Aku yang seharusnya minta maaf, andai saja aku tidak egois, andai saja aku menemanimu. Ini tidak akan terjadi”
Anindita menggeleng.
“Ti..d..ak A..ilin. A..k..u su…dah me..maa..fkan ..mu. Te,...ri ..ma ka…sih ka..u su..dahh i..ngin ja…di sa..ha..bat mu” kata Anindita dengan senyuman dan saat itulah Anindita menghembuskan nafas terakhirnya.
Ailin memeluk Anindita dengan tangis yang semakin menjadi. Berkali – kali ia meneriakkan nama Anindita. Kini Anindita meninggalkannya untuk selama – lamanya. Anindita pergi dalam pelukan sahabatnya Ailin dan dengan senyum mengiringinya.

Selesai :) :) :)
 




~Ozoga~