ANINDITA
Ailin
menatap langit malam melalui jendela kamarnya, tidak peduli rasa dingin yang
menembus tulang iganya, tidak peduli esok ia akan sakit karena masuk angin, ia
masih saja memandangi langit malam yang dihiasi bintang – bintang. Air matanya
terus saja menetes, ia tak mencoba menghentikannya. Ia merindukan seseorang
yang nyaris 11 tahun selalu bersamanya. Rasa marah dan perasaan bersalah terus
saja menghantuinya. Namun penyesalan, rasa marah, dan perasaan bersalah tak
mampu mengembalikan sosok sahabatnya.
Anindita
sahabatnya yang baik dan periang, ia mengenalnya ketika berumur 3 tahun saat
itu Anindita menjadi tetangga barunya. Anindita selalu menemani Ailin ke
manapun Ailin meminta. Anindita adalah sosok sahabat yang tak akan bisa ditemui
dimanapun.
Kejadian
1 tahun lalu, hari dimana sahabatnya Anindita pergi meninggalkannya karena rasa
egoisnya. Kejadian itu masih tertata rapi dalam ingatannya.
Satu tahun yang lalu,
hari kejadian …..
“Hai.
Lagi ngapain Lin.? Sepertinya kau sedang senang” Sapa Anindita saat baru tiba
dikelas dan meletakkan tasnya.
“Ya.
Hari ini aku benar – benar senang Anindita” kata Ailin
“Apa
yang membuatmu senang, wahai sahabatku Ailin.?” Tanya Anindita lagi dengan
berkacak pinggang
“Hayooo,
coba tebak.?” Ailin mencoba berteka – teki
Anindita
diam berfikir.
“Jangan
bilang kau sudah dapat novel Thalita karya Stephanie Zen.?” Teriak Anindita
antusias
“Ya.
Kau benar. Ini.!” Balas Ailin dengan antusias pula sambil mengacungkan novel
Thalita.
“Waahhhh.
Dari mana kau mendapatkannya.?” Tanya Anindita dengan membolak – balikkan novel
Thalita yang sudah ada di tangannya.
“Kemarin
waktu temanin nyokap nyari buku resep, tuh malah ketemu” jawab Ailin
“Yah
udah deh, habis kamu, aku yang baca” kata Anindita
“Novel
Luna Torashyngu yang D’Angel, kamu udah baca.?” Tanya Ailin
“Hahaha.
Belum” jawab Anindita tertawa
“Hhhhh”
desah Ailin, Anindita hanya tersenyum
“Oh
iya Ailin. Temani aku ke toko boneka sepulang sekolah yah.?” Pinta Anindita
“Memangnya
mau ngapain.?” Tanya Ailin balik
“Pengen
beliin Salsa boneka. Besok dia ulang tahun” jelas Anindita
“Aduuhh
gimana nih Dit. Aku pengen pulang cepat, aku pengen nyelesaiin novel ini cepat
– cepat” kata Ailin menolak
“Yah,
Cuma bentar aja kok” Pinta Anindita lagi
“Kamu
pergi sendiri aja yah, aku juga lagi malas jalan – jalan pengennya langsung
pulang aja” Dan lagi Ailin menolak
“Ya
udah deh” kata Anindita kecewa.
Sepulang
sekolah mereka pulang, mereka jalan bersama dan akan berpisah di depan toko
buku. Anindita akan ke seberang jalan menuju toko boneka sedangkan Ailin akan
terus berjalan pulang. Sebelum menyebrangi jalan Anindita sekali lagi bertanya.
“Ailin.?
Kau benar tidak ingin menemaniku.?” Tanya Anindita dengan kesedihan di wajahnya
“Iya
Anindita. Berapa kali sih aku harus bilang” jawab Ailin dengan nada suara yang
sedikit meninggi
“Ya
udah deh” kata Anindita melemah
Ailin
berjalan pergi namun baru selangkah ia melangkah, suara rem mobil berdesit
menghentikannya. Seketika ia terdiam kaku. Perlahan ia membalikkan badannya dan
dilihatnya Anindita yang terbaring di jalanan dengan darah yang terus keluar
dari kepalanya. Ailin tahu, Anindita menderita penyakit Hemofilia. Refleks
Ailin berteriak.
“ANINNNDITAAAAAA
……” teriak Ailin kemudian berlari menghampiri Anindita.
Ailin
membangunkan Anindita tidak peduli darah mengotori seragam sekolahnya.
“Anindita
bangun” perintah Ailin dengan air mata yang terus saja menetes dari kedua
pelupuk matanya. Diguncangkannya badan Anindita. Perlahan ia melihat mata
Anindita terbuka.
“Anindita”
panggilnya
“Aaai…lin.
Ma..afkan A…k..u” kata Anindita terputus – putus
“Tidak
Anindita. Aku yang seharusnya minta maaf, andai saja aku tidak egois, andai
saja aku menemanimu. Ini tidak akan terjadi”
Anindita
menggeleng.
“Ti..d..ak
A..ilin. A..k..u su…dah me..maa..fkan ..mu. Te,...ri ..ma ka…sih ka..u su..dahh
i..ngin ja…di sa..ha..bat mu” kata Anindita dengan senyuman dan saat itulah
Anindita menghembuskan nafas terakhirnya.
Ailin
memeluk Anindita dengan tangis yang semakin menjadi. Berkali – kali ia
meneriakkan nama Anindita. Kini Anindita meninggalkannya untuk selama –
lamanya. Anindita pergi dalam pelukan sahabatnya Ailin dan dengan senyum
mengiringinya.
Selesai :) :) :)
~Ozoga~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar