Hay.?

Aku dengan caraku. Karena Aku Berbeda.
Aku Berbeda. Maka Bedakan Aku

Minggu, 10 Agustus 2014

I BELIEVE HE IS DIFFERENT (Part IV)



I BELIEVE HE IS DIFFERENT (Part IV)

“Terima kasih,Tasya.  :)
Hari terus berlalu, aku sudah berada di Bantaeng. Aku kembali setelah  saat acara arisan keluarga selesai. Aku kembali ke Bantaeng bersama mama. Sempat Deni melihatku, aku hanya tersenyum begitu pula dengannya.
Hingga di hari senin tanggal tanggal 17 aku balikan dengan Deni. Awalnya aku menolak namun setelah ku pikir – pikir. Mengapa tidak, toh aku juga dekat dengan Deni. Lagipula tidak ada alasan untuk menolak, ia terlalu baik untuk ditolak.
Hari – hari berjalan lancar. Hingga suatu hari di sekolah aku sedang duduk ditaman sekolah. Temanku Risti menghampiriku.
“Ehh. Risti” kataku ketika Risti sudah duduk disebelahku
“Lo balikan yah sama Deni.?” Risti bertanya dengan mencondongkan tubuhnya
“Tau dari mana lo.?” Tanyaku balik sambil tersenyum
Risti kembali duduk dengan benar.
“Apa sih Sya yang gue nggak tau.? Apa lagi masalah lo. Ya ammpuun bukan rahasia lagi kalau semua tentang lo” tutur Risti
“Yee. Nggak juga kali” kataku menimpali ucapan Risti
“Kok lo balikan lagi sih.?” Tanyanya lagi
“Emang kenapa kalau gue balikan.?” Tanyaku balik, ada nada tak suka dari caranya bertanya.
Risti terdiam. Ku lihat dari arah lain Dinda dan Febi berjalan menghampiriku.
“Lagi ngapain sih.?” Febi bertanya ketika mereka sudah duduk di hadapanku
“Nggak. Lagi ngobrol aja” jawabku singkat diikuti senyumku
“Sya. Kenapa sih lo mesti pacaran jarak jauh.? Yang dekat banyak suka kok sama lo” Risti melanjutkan pembicaraannya. Aku hanya diam.
“Ngomong apaan sih kalian.?” Kini Dinda yang bertanya
“Tasya balikan lagi sama Deni” Risti menjawab pertanyaan Dinda
“Lagi.?” Febi berkata dengan keterkejutannya sambil mencondongkan badannya
Aku menjawabnya hanya dengan senyuman.
“Kenapa mesti Deni sih Sya.?” Kini Dinda bertanya dengan nada yang ku rasa aneh
“Emang kenapa sih dengan Deni.?” Tanyaku heran
“Jujur aja yah Sya. Kami nggak pernah setuju lo pacaran bareng Deni” Risti berkata seakan mewakili orang yang ada di dunia.
“Ok. Alasannya.?” Tanyaku masih tidak puas
“Gue nggak percaya sama Deni” Risti memulai pengakuannya. Aku hanya diam menunggu kelanjutannya.
“Lo nggak mikir Sya. Lo bilang Deni itu lumayan, pintar, berada, dikagumi banyak cewek. Coba deh lo pikir kata – kata lo. Kalau Deni memang seperti yang lo bilang besar kemungkinan kan dia selingkuh” Risti mengakhiri pengakuannya
“Hahaha. Nggak mungkinlah Ris, dia itu sayang bangett sama aku” Seketika aku tertawa mendengar perkataan Risti
“Heii. Sadar lo.?! Apa sih yang nggak mungkin di dunia ini.?! Cowok itu emang ngomong gitu dihadapan lo, tapi buntutnya dia malah selingkuh” Risti menepuk pundakku
“Ahhh. Sudahlah Ris. Gue juga nggak masalah kalau dia mau selingkuh, gue nggak berhak larang – larang dia. Gue fine aja gitu kalau di selingkuh atau apa kek.” Kata ku kemudian
“Iya lo fine aja Sya. Tapi gosip gimana.?” Kini giliran Febi yang angkat bicara
“Masa bodoh aahh sama gosip. Abaikan saja” kataku mencoba untuk cuek
“Terserah lo aja deh mau ngabaiin gosip. Tapi reputasi lo gimana.? Lo selama ini dikenal hebat.?”
Aku terdiam. Benar juga apa yang dikatakan teman – temanku.
“Gue saranin lo putus aja deh Sya. Banyak kok cowok pengen sama lo” kini Dinda ikut nimbrung. Aku tidak menanggapi perkataan Dinda. Aku hanya diam.
Malam harinya, seperti yang sudah ku duga. Deni bisa membaca gelagat aneh ku saat ia menelfonku.
“Ada masalah yah Sya.?” Tanya Deni
Aku masih diam. Deni mengulang lagi.
“Tasya.?”
“Ya.?”
“Lagi ada masalah yah dek.?”
“Nggak kok kak”
“Kalau nggak, kamu nggak akan diam terus dek”
“Nggak kok kak”
“Kalau punya masalah jangan sungkan cerita  yah dek”
“Aku bilang nggak ada. Yah nggak Ada.!!” Ku sadari suara ku mulai meninggi
“Ya udah dek. Nggak usah marah gitu. Aku cuma menyarankan saja. Siapa tau aku bisa bantu gitu”
“Nggak usah. Aku nggak butuh bantuan.!!” Suaraku masih saja meninggi
“Adek kenapa sih kok marah – marah gitu sih.? Lagi dapet yah.?”
“Udah deh diam.!!!!”
Seketika hening. Tak ada satupun dari kami yang berbicara. Hingga ia meulai lagi.
“Sya.?” Deni memanggilku
“Mm.”
“Aku minta maaf yah.?”
“Untuk.?”
“Untuk segalanya. Apapun itu. Mungkin aku udah buat kamu sedih atau apalah. Aku minta maaf”
“Nggak ada yang perlu dimaafkan kok kak. Malah aku yang perlu minta maaf. Aku udah marah – marah nggak jelas sama kakak”
“Nggak apa – apa kok dek. Kakak udah maafin kamu”
“Ok deh kak. Aku butuh sendiri dulu”
“Yah udah deh. Kalau butuh kakak jangan sungkan nelfon yah.? Atau sms nanti kakak yang nelfon”
“Ok kak.”
Telfonpun terputus. Aku masih duduk dimeja belajarku tanpa melakukan apa – apa. Tugas sekolahkupun tak ku sentuh. Pikiranku melayang pada pembicaraanku tadi di taman bersama teman – temanku. Aku masih bingung. Hingga jarum jam menunjukkan pukul 23.000 WITA. Hinggaku putuskan menelfon Deni.
“Halo.? Kak.?” Ucapku ketika kudengar Deni mengangangkat telfonku
“Mmmm.?” Ohhh. Shitttt… Dia sudah tidur.
“Udah tidur yah.?” Tanyaku seolah tidak tahu
“Baru saja. Ada apa.?”
“Nggak jadi ahh.” Kataku kemudian. Kudengar suara – suara kresekan mungkin itu berasal dari tempat tidur Deni mungkin ia sedang memperbaiki duduknya.
“Ngomong aja. Nggak apa – apa kok”
“Beneran.?”
“Iya”
“Aku Cuma mau nanya” kataku dengan suara yang sedikit melemah
“Iya. Nanya aja dek”
“Begini kak. Kakak taukan teman aku Risti.?”
“Iya. Kakak tahu, kamu sering cerita tentang dia”
“Gini kak. Dia punya pacar namanya Bima” aku memulai ceritaku dengan menggambarkan diriku pada Risti.
“Truss.?”
“Risti kan cantik, pintar, ia juga popular disekolah, disukai banyak cowok. Karena Risti sama Bima pacarannya jarak jauh banyak yang mengatakan Risti itu bodoh, orang ngomong yang tidak – tidak tentang pacar Risti. Ada yang bilang kemungkinan besar pacar Risti itu selingkuh karena katanya Bima itu gagah, pintar, popular, kaya, disenangi banyak orang, truss banyak cewek yang suka sama dia. Jadi bukan mustahil kan. Pokoknya banyak deh, sahabat Ristipun nggak ada yang setuju Risti pacaran dengan Bima.”
Aku terdiam mencoba untuk menyusun kata – kata. Ku rasakan sesak, dan ku yakin tak lama lagi air mataku tumpah. Aku tak sanggup melanjutkannya. Ku merasa, aku tidak adil dengan Deni. Ia sudah banyak berkorban untukku, ia sudah baik denganku. Kurasakan mataku perih dan tumpahlah tangisku. Aku mencoba untuk tidak bersuara. Di ujung sana Deni masih terdiam menunggu kelanjutannya, hanya sesekali kudengar tarikan nafasnya yang berat. Dan aku akan kembali merasa bodoh. Aku kemudian kembali melanjutkan ceritaku.
“Truss. Risti nanya sama aku” aku mencoba berbicara pelan agar Deni tak mengetahuiku kalau aku sedang menangis. Deni masih terdiam.
“Dia nanya sama aku. Apa yang harus ia lakukan.? Dia mengormati Bima, ia tidak ingin menyakiti Bima yang sudah terlalu baik dan menyayanginya. Disisi lain ia juga tak suka dengan gosip, ia tidak ingin reputasinya rusak gara – gara gosip yang beredar” Kini aku tidak dapat menyembunyikan tangisku lagi. Ku dengar tarikan nafas Deni yang sangat berat. Aku merasa bersalah, aku kejam. Deni tidak mencoba menenangkanku, aku tak tahu apakah ia sudah sadar bahwa yang kuceritakan adalah dirinya dan aku atau belum.
Sekali lagi kudengar Deni menarik nafas sebelum ia berbicara.
“Apakah Risti mencintai Bima, dek.?”
Ohhhh. Ya ammmpunnn, pertanyaan yang benar – benar tak ku inginkan saat ini. Aku tak mampu menjawabnya. Jujur saja saat ini aku masih belum bisa melupakan Rendra, cinta pertamaku. Perasaanku dengan Deni masih belum berubah, aku masih menganggapnya sebagai teman tak lebih dari itu. Apa yang harus ku lakukan.? Apa yang akan kukatakan.? Jawaban macam apa yang harus ku berikan.
“Aku tak tahu kak. Aku tak tahu perasaan Risti terhadap Bima, tapi Risti pernah bilang sama aku. Ia sangat menghormati Bima. Bima sangat baik terhadapnya dan sangat menyayangi dia. Bima sudah banyak berkorban untuknya. Ia ingin membahagiakan orang yang mencintainya, ia ingin melihat Bima terus tersenyum, dan tertawa meskipun ia harus mengorbankan perasaannya. Baginya membahagiakan orang yang mencintainya itu sudah lebih dari cukup untuknya dan membuatnya ikut bahagia. Ia tak tahu kalau membahagiakan orang dicintainya sesulit ini” aku menjawabnya dengan air mataku yang terus saja menetes.
“Kakak merasa Risti tidak mencintai Bima. Dek”Aku merasa suara Deni sangat aneh, aku tak mengenal suara ini. Apa yang terjadi dengan Deni.?
“Kak.?”
“Ada apa dek.?” Dan lagi suara itu sangat aneh
“Kakak nggak apa – apa.?”
“Nggak kok dek. Emang kenapa adek bertanya seperti itu.?” Dan masih tak berubah
“Suara kakak terdengar aneh”
“Ahh.. kamu salah dengar kali dek” Dan kali ini suaranya benar – benar aneh seakan ia sedang melawan sesuatu, aku heran namun aku hanya diam.
“Begini dek. Semuanya dikembalikan sama Ristinya saja. Ketika ia memang benar – benar ingin membahagikan Bima, abaikanlah gosip yang beredar lama – kelamaan gosip itu akan hilang atau ia bisa menyangkal gosip tersebut”
“Tapi bagaimana dengan reputasinya kak.?”
“Adek. Ketika kau menginginkan sesuatu dan sangat ingin memilikinya maka kaupun harus melepaskan yang lainnya. Ketika kita di perhadapkan pada dua pilihan dan harus memilih salah satunya berarti kita akan kehilangan yang lainnya. Seperti itulah sekarang dek. Risti ingin membahgiakan orang yang mencintainya berarti ia harus melepaskan reputasi yang kemungkinan besar bisa ia kembalikan nantinya, ia bisa membangunnya kembali. Tapi ketika ia memilih tetap menjaga reputasinya berarti ia harus melupakan mimpinya untuk membahagiakan orang yang mencintainya”
Aku terdiam mendengar nasehat Deni. Aku merasa semakin sesak. Suara Deni yang makin lama ku rasa semakin aneh.
“Tapi dek..” Deni terdiam ia tidak melanjutkan kata – katanya.
“Tapi apa kak.?” Aku penasaran dengan kelanjutan kata – katanya
“Menurut kakak. Sebaiknya Risti memilih mempertahankan reputasinya.” Aku semakin heran dengan suara Deni masih terasa aneh.
“Mengapa kakak berkata seperti itu.?”
“Ketika Bima tahu apa yang telah dikorbankan Risti untuknya mungkin Bima akan merasa sedih dan terus merasa bersalah.” Deni kembali diam. Aku menunggu Deni melanjutkannya.
“Ketika kita mencintai seseorang kita akan rela berkorban untuknya dek. Kita tidak akan peduli dengan apapun yang kita korbankan hanya untuk melihatnya tersenyum dan bahagia. Jika Bima tahu bahwa Risti sudah mengorbankan reputasinya dan perasaannya untuk dirinya yang hanya untuk membalas pengorbanan dan kebaikannya selama ini maka ia akan merasa sangat sedih, bersalah, dan merasa gagal membahagiakan Risti. Bima akan merasa pengorbanannya selama ini hanyalah sia – sia dan akhirnya Bima akan menjadi orang sangat putus asa dan menjadi seseorang yang sosoknya tak dapat dikenali lagi”
Kini tangisku semakin menjadi. Aku tak dapat berkata apapun mendengar penuturan Deni. Ini memang pilihan yang paling berat. Mengapa untuk membahagiakan orang yang mencintaiku sesulit ini.? Di ujung sana Deni juga terdiam hanya sesekali ku dengar tarikan dan hembusan nafasnya yang berat. Hingga ku tau apa yang terjadi dengan suara Deni di ujung sana.
“Deni, belum tidur nak.?” Kudengar suara dari ujung sana yang bisa ku tebak itu suara Bude Linta mama Deni. Tak ada jawaban dari Deni. Hanya ada langkah yang tergesa – gesa yang terdengar.
“Ohhh. Ya ampun. Ada apa denganmu nak.? Mengapa kau seperti ini.? Mengapa kau menangis.? Apa yang membuatmu menangis.? Apa kau punya masalah disekolah.? Ada apa nak.?” Dapat ku tahu kekhawatiran bude Linta dari Nada suaranya. Dan aku juga merasakan darahku berhenti, apa yang ku perbuat.? Membuat Deni menangis.? Jadi.? Dia sudah tahu.? Dan lagi, apa yang ku perbuat.? Aku merasa sangat kejam.
“Ohh. Tidak apa – apa ma. Cuma nilai ulangan Fisikaku sangat rendah dan besok ada ulangan Matematika tapi aku benar – benar tidak konsen. Tak ada satupun materi yang dapat ku pahami” kudengar suara Deni yang tidak lagi menyembunyikan tangisnya.
Kini tanganku sudah menutup mulutku. Ku menangis tanpa suara sejadi – jadinya. Terakhir ku dengar suara bude Linta sebelum menekan tombol memutus sambungan telfonku dengan Deni.
“Yah, sudah besok nggak usah masuk sekolah dulu. Refreshing sana, akhir – akhir ini kamu terlalu sibuk dengan sekolahmu”
Lama aku menangis dan ku yakin mataku akan bengkak besok. Aku tak mencoba menghubungi Deni kembali dan Denipun tak mencoba menghubungiku, mungkin ia butuh waktu untuk sendiri seperti yang ku inginkan.
Disekolah aku lebih banyak diam dan menyendiri. Berhari – hari aku tidak berhubungan dengan Deni. Deni terus saja menghubungiku namun ku tolak semua panggilan darinya. Hingga pada tanggal 28 aku memutuskan mengangkat telfonnya. Saat itu aku sedang belajar.

“Halo kak.?”
“Iya dek. Lagi ngapain.?” Ternyata Deni tidak membahas masalah beberapa malam lalu.
“Lagi kerja tugas kak. Kakak sendiri lagi ngapain.?”
“Nggak kok dek. Cuma lagi duduk – duduk teras rumah aja”
“Kak. Aku mau ngomong”
“Ngomong aja dek”
“Aku rasa sebaiknya kita akhiri saja hubungan ini. Ku rasa cukup sampai disini saja” Aku kamudian memberikan keputusanku. Dan baru ku sadari, dari tadi aku sudah menahan nafas.
“Jika itu keputusanmu, apa yang bisa ku perbuat dek selain menerimanya”
“Terima kasih kak”
“Iya dek”
“Ya udah kak. Aku mau lanjut kerja tugas lagi”
“Ok dek”
Dan selesai sudah hubunganku dengan Deni. Aku memang egois, aku memang jahat, aku kejam, tapi apa yang bisa ku perbuat aku tidak ingin merusak reputasiku dan harus memulai dari awal lagi.
Keesokan harinya. Di sekolah kata teman – temanku, aku terlihat sangat sehat. Aku hanya tersenyum mendengar komentar mereka. Di sekolah aku bersenang – senang, tertawa bersama teman – temanku. Namun berbeda pada malam harinya. Dita menghubungiku. Pasti ini tentang Deni, kataku dalam hati
“Malam, Sya”
“Iya Dit”
“Lagi ngapain nih.?”
“Nggak kok, lagi nyantai aja gitu”
“Gue pengen nanya ni Sya”
“Nanya aja. Nggak apa – apa kok”
“Lo putus yah.?”
“Iya gitu deh” Jawabku enteng
“Kok bisa.?”
“Yah udah nggak ada kecocokan gitu deh”
Aku merasa aneh, tidak biasanya Dita mencampuri hubunganku dengan Deni. Biasanya juga Dita nggak tahu kalau aku putus dengan Deni.
“Lo tau dari mana gue putus Dit.?” Aku kemudian bertanya namun tak ada jawaban yang ku dapat. Dita hanya diam.
“Ada apa sih Dit.?”
“Nggak kok”
“Ada yang lo sembunyiin dari gue Dit. Deni yang beritahu lo.?”
“Nggaklah. Mana pernah Deni cerita masalah hubungannya”
“Truss gimana lo bisa tau gue putus”
“Nggak. Cuma aneh aja kelakuan Deni di sekolah tadi”
“Emang dia kenapa.?”
“Ancurr bangett deh. Gue baru ngeliat kali ini fashion Deni asal – asalan. Lo kan tau Deni kalau makai jam tangan pasting matching dengan fashionnya. Ehh tadi nggak matching bangett tau. Gue nggak tau masih untung kalau tuh rambut di sisirin, berantakan banget. Truss sukanya ngelamun mulu. Pokoknya kayak bukan Deni gitu deh” Dita mengakhiri ceritanya
Aku hanya terdiam. Ini semua ulahku, ini semua hasil dari keputusanku. Aku sedih mendengar Deni seperti ini.
“Mungkin dia butuh waktu Dit”
“Waktu putus dulu bareng Selsa. Nggak sampai segitunya si Deni, tapi kali ini gue bener – bener heran deh Sya. Kayak gue nggak kenal dia gitu, pokoknya beda beda bangett”
Aku kemudian teringat dengan kata – kata Deni dulu waktu aku mengumpamakan diriku dan dirinya dengan Risti dan Bima. “Ketika seseorang gagal membahagiakan orang dicintainya, maka ia akan menjadi orang yang sangat putus asa dan menjadi seseorang yang sosoknya tak dapat dikenali lagi”.
“Ya. Udah deh Sya. Gue pengen kerja PR dulu. Kapan – kapan gue telfon lagi yah.?”
“Ok. Dit”
Setelah itu telfonpun terputus. Aku kembali terdiam di meja belajarku, tak ada kegiatan yang dapat ku lakukan.
Sudah satu minggu putusku dengan Deni. Tak ada kabar yang ku dapat tentangnya. Hingga suatu malam Dita kembali menelfonku.
“Halo.?”
“Ya.? Ada apa Dit.?”
“Ada apa sih sebenarnya lo dengan Deni.?”
“Memangnya kenapa Dit”
“Udah cukup gue diamin kalian. Gue udah nggak tahan ngeliat Deni kayak gini terus”
“Emang Deni kenapa Dit.?”
“Ancurrr banget Dit. Gue ngerasa gue kehilangan sosok Deni”
“Alasannya.?”
Dapat ku dengar Dita mulai menangis.
“Deni ancurr banget Sya. Dia udah nggak kayak dulu lagi” Dita terisak, aku menunggu ia melanjutkan ceritanya.
“Ia suka ngelamun, suka marah – marah nggak jelas gitu. Ia jarang ikut latihan Basket lagi, jarang masuk Les, jarang makan. Sekarang ia terlihat kurus. Kerjaannya di rumah terus, dikamar ngelamun. Gue nggak tahu mesti buat apa. Tente Linta juga sedih banget ngeliat keadaan Deni. Tapi kami tidak dapat berbuat apa – apa. Dan lebih parahnya lagi, nilai – nilai Deni banyak menurun dan ia tidak memperdulikannya. Padahal setau gue Deni nggak bakal pernah tenang kalau nilainya menurun. Guru – guru banyak bertanya tentang Deni, gue nggak tahu harus ngejawab apa Sya.? Gue harus jawab apa.? Gue nggak tega ngelihat sahabat gue kayak gitu.” Kini isakan Dita semakin menjadi dan aku ikut terbawa dengan suasana sedih yang diciptakan Dita. Air mataku tak dapat ku bendung lagi, aku tak tahu harus berbuat apa.
“Gue minta maaf Dit, udah buat sahabat lo kayak gitu. Gue benar – benar minta maaf”
“Sya.? Apa sih kurangnya Deni.? Dia kurang apa lagi Sya.?”
“Nggak Dit. Dia nggak kurang apa – apa. Dia terlalu sempurna bagi gue”
“Truss kenapa lo buat dia kayak gitu.? Apa dia jahat sama lo Sya.? Apa dia udah buat yang lo nggak senang.?” Kini suara Dita seakan menyalahkan Deni
“Nggak Dit. Nggak ada. Justru dia baik bangett sama gue, dia juga selalu buat gue senang.”
“Truss apa dong Sya, sampai lo tega ngancurin dia.?”
“Maafkan gue Dit. Gue benar – benar minta maaf”
“Sya. Lo kok tega sih.? Gue kecewa sama lo Sya. Gue kecewa banget”
“Gue minta maaf Dit”
“Ya udah Sya. Gue pengen ke rumah Deni dulu”
“Ok Dit.
Telfonpun terputus. Aku kembali terdiam di meja belajarku. Tak lama ponselku kembali berdering. Pesan.
From : Reza
Hei.? Kok nggak ada kabar sih kemana aja.?
To : Reza
Nggak ke mana – mana kok. Cuma akhir – akhir ini lagi banyak kerjaan.
From : Reza
Woaahh. Sibuk amet sih. Ehh ngomong – ngomong lo sama Deni baik – baik kan.? Ada apa sih dengan si Deni, fashionnya ancur bangett lo nggak pernah matching akhir – akhir ini, trus suka ngelamun gitu. :D woaahh pokoknya ancur banget deh.
Satu lagi orang yang mengatakan perubahan Deni. Aku kembali merasakan sesak dan air mataku kembali tumpah. Baru kali ini aku mengenal cowok seperti Deni, aku tak menyangka ia benar – benar terpuruk karena masalah perasaan. Kini aku benar – benar yakin Deni berbeda dari cowok yang lain.
Keesokan harinya saat ku mencoba untuk menjelejah dunia maya. Ku dapati satu pesan. Dari Dita. Ia mengirimiku stiker. Ku buka pesan tersebut. Seketika bulir bening berjatuhan. Itu foto Deni. Ku lihat ia sedang duduk melamun. Dan …. Ya ampunnnn. Ada apa dengan fashionnya.? Ku lihat matanya yang menyiratkan kesedihannya. Ia terlihat lebih kurus. Ia terlihat lelah seakan ia memikul banyak beban. Hatiku sangat sakit melihat keadaan Deni. Seakan seseorang meneriakiku.
“LIHATLAH.!!! ITU HASIL PERBUATANMU.??!! KAU TELAH MERUBAHNYA MENJADI SOSOK YANG TAK DI KENALI.?! APA.?! JANGAN MENGATAKAN KAU BARU MENYESAL SEKARANG.?!”
“Ya. Aku benar – benar menyesal” bisikku pelan dan suaru itu kembali lagi.
“KAU MENYESAL.?! LALU MENGAPA KAU DIAM.?! AYO.!!! LAKUKAN SESUATU BODOH.?!!”
Seketika aku berteriak.
“AKU MEMANG BODOH.!!! APA YANG HARUS KULAKUKAN.?! AYO JELASKAN PADAKU.?! AKU BODOH.!!! AKU TIDAK TAHU APA YANG HARUS KU PERBUAT.!!!!” Teriakku histeris, aku tak mendengar suara itu lagi
Aku kemudian menangis sejadi – jadinya.
Keesokan harinya di sekolah. Aku benar – benar tidak konsen mengikuti pembelajaran. Dan aku sudah mengambil keputusan. Aku akan menghubungi Deni malam nanti.
Malam harinya. Hari ini tanggal 22 Maret 2014. Aku mencoba mengumpulkan kekuatan menghubungi Deni.
“Halo.? Assalamualikum.?” Kudengar suara Deni di ujung sana. Suaranya sangat lemah. Aku menghubungi Deni dengan nomor Privat number.
“Waalaikumsalam” aku menjawab salam Deni.
“Tasya.?” Aku tak menyangka ia dapat mengenal suaraku.
“Iya. Ini aku kak” Aku mencoba untuk tetap memanggil Deni kakak.
“Ada apa Sya.?”
“Bagaimana kabarmu.?”
“Alhamdulillah baik. Kamu bagaimana.?” Deni berbohong
“Baik juga Kak” akupun ikut berbohong
Kamipun terdiam tak ada yang mencoba untuk berbicara lagi.
“Kak.?”
“Mm.?”
“Kakak tak berniat mencoba memintaku balikan dengan kakak.?”
“Apakah aku masih bisa memintanya, dek.?”
“Mmm”
“Kau yakin dek.?” Ku dengar suara Deni mulai berubah, ada nada senang yang dapat ku tangkap.
“Iya kak” jawabku lagi
“Jadi kita resmi pacaran lagi.?”
“Iya kak”
“Thanks adek”
“Ok. Kak”
Semoga keputusan yang ku ambil ini benar. Meskipun aku harus mengorbankan reputasi terlebih lagi perasaanku yang penting aku bisa membahagiakan Deni, orang yang sangat mencintaiku. Kali ini aku ingin berkorban untuknya, aku akan mengembalikan reputasiku nanti. Aku akan mencoba memulainya dari awal lagi, bagiku kini itu tidak masalah selama Deni bisa tersenyum lagi.
Hubungan ku dengan Deni baik – baik saja. Orang – orangpun menerima keputusanku, tidak ada lagi gosip yang tak enak di telinga tersebar hanya ada gosip tentang kesetiaan.
Sudah beberapa hari aku balik dengan Deni, namun ku rasa ada yang berbeda dari cara Deni berbicara terhadapku. Aku merasa sesuatu terjadi. Namun ku abaikan, mungkin rasa canggung masih ada pada kami. Hingga suatu hari aku merasa aneh dengan kelakuan Deni. Dan pada malam harinya, pada saat menelfon ia lebih banyak diam. Aku merasa sangat aneh tidak seperti Deni. Apakah ada sesuatu yang di sembunyikan dariku.? Akupun menghentikan kegiatan belajarku.
“Kak.?”
“Ya.?”
“Kok diam sih.?”
“Yah. Kamunyakan lagi belajar dek”
“Tapi nggak kayak kakak yang biasanya deh”
“Ahhh. Itu cuma perasaan kamu saja dek”
“Ada yang kakak sembunyiin dariku.?”
“Nggak ada kok kak”
“Jujurlah kak”
Deni terdiam. Apa ini.? Apa yang ada di fikiran Deni.
“Kak.?”
“Ya.?”
“Bicaralah kak”
“Kamu yakin dek, ingin mendengarnya.?”
Aku heran mendengar pertanyaan Deni. Tiba – tiba perasaan ku tak enak. Namun aku tetap ingin mendengarnya.
“Ya kak. Aku ingin mendengarnya”
“Kau siap.?”
Aku terkejut. Ada apa sebenarnya.? Pertanyaan macam apa ini.?
“Ya kak. Memangnya ada apa.?”
Deni terdiam.
“Kak.? Jangan sungkan ngomong kak.”
Ku dengar tarikan nafas Deni. Aku semakin penasaran.
“Dek.?”
“Mmm”
“Kita akhiri saja hubungan ini”
Aku terkejut, ada apa sebenarnya.? Namun aku masih diam menunggu Deni melanjutkan.
“Ku rasa cukup sampai di sini hubungan kita dek. Banyak hal yang membuat kita harus mengakhirinya. Kakak juga tidak ingin kamu mengorbankan reputasimu …” Aku memotong ucapan Deni
“Tidak kak. Reputasiku baik – baik saja”
“Biarkan kakak bicara dek. Please.!”
“Ya kak.”
“Kakak senang pernah mengenalmu, kakak senang pernah mengisi harimu, kakak senang bisa tahu banyak tentang kamu. Kakak juga senang adek mengizinkan kakak masuk ke kehidupan adek, menemani adek. Tapi kakak tidak bisa selamanya berada di sisimu dek. Ku harap adek bisa cepat sembuh dari luka yang diciptakan Rendra. Kakak berbohong jika kakak bilang, kakak tidak pernah berharap adek mencintai kakak dan melupakan Rendra, tapi kakak tidak memaksa adek. Kakak hadir di hidup adek hanya ingin membantu adek bangkit, menghibur adek”
Deni terdiam, ia menarik nafas kemudian melanjutkan lagi.
“Kakak berharap adek bisa dapat cowok yang jauh lebih baik dari pada kakak ataupun Rendra. Adek berhak bahagia. Kakak juga mau ucapkan terima kasih sama adek. Karena adek kakak dapat banyak pengetahuan dan berkat adek kakak bisa buka hati kakak lagi untuk orang lain. Selama ini kakak juga menutup diri dari kehidupan sekitar kakak.tapi berkat adek kakak sadar kelakuan kakak salah. Ternyata ada banyak hal yang indah di luar sana. Kakak sangat bahagia bisa mengenal adek.”
Aku masih terdiam.
“Kini barulah kakak sadar, kakak baru tahu, ternyata ada seseorang yang sudah bertahun – tahun selalu mengagumi kakak. Hingga kini ia bahkan belum pernah berpacaran, ia menutup diri, ia hanya mengagumi kakak. Kakak baru tahu itu sekarang. Dan kali ini kakak ingin memberi dia kesempatan adek. Aku ingin membahagiakn orang yang mencintaiku dek”
“Kak.?” Kini air mataku tak dapat ku tahan lagi.
“Ya dek.?”
“Kakak yakin.?”
“Iya dek. Maafkan kakak”
“Tidak kak. Tidak. Tidak ada yang perlu di maafkan”
“Kakak harap adek bahagia. Ku harap adek masih ingin berteman dengan kakak”
“Ya kak. Akupun berharap seperti itu. Ingatlah kak.!! Yang putus diantara kita adalah sebuah status bukan sebuah hubungan. Aku juga berharap kakak masih ingin berteman denganku”
“Iya dek.”
“Terima kasih kak”
“Kakak juga”
“Iya kak”
“Kapan – kapan kakak kenalkan kamu dengan Jihan”
“Namanya Jihan kak.?”
“Iya dek. Dia setahun lebih muda darimu”
“Aku doakan kakak bahagia yah. Semoga langgeng”
“Terima kasih dek”
“Iya kak”
“Ya udah dek. Kakak pengen telfon Jihan dulu”
“Iya kak”
“Assalamualikum”
“Waalaikumsalam”
Begitulah hubunganku dengan Deni berakhir. Meskipun ada air mata yang ku ciptakan tapi percayalah itu adalah air mata bahagia ku.
Keesokan harinya. Malam hari Dita menelfonku.
“Halo.?” Sapaku
“Sya.? Lo putus dengan Deni.?”
“Ya. Emang ada apa Dita.?”
“Kok bisa.?”
“Itu keputusan kami Dit”
“Lo tahu iya berpacaran dengan Jihan adek kelas kami.?”
“Iya”
“Deni yang memberitahu lo.?”
“Iya Dita”
“Yang mutusin hubungan lo, jangan bilang … ?”
“Ya. Itu Deni”
“Banggsaatt betul tuh si Deni, bisa – bisanya dia mutusin lo truss jadian bareng Jihan” Dita mengumpat. Aku tertawa.
“Kok lo malah ketawa sih Sya.?”
“Habis lo lucu sih. Udah, gue dengan Deni udah nggak ada kecocokan Dit. Gue juga udah lama pengen putus dengan Deni”
“Yakin lo.?”
“Iya. Ya ammpunn Dita. Dita. Lo lucu banget tau. Gue senang lo sama lo. Lo peduli banget sama sahabat lo Deni”
“Yeeee …. Bukan sahabat lagi buat gue dia udah gue anggap saudara”
“Okelah”
“Ya udah deh. Lo jangan sedih yah”
Seketika tawa kami meledak.
“Ada, ada aja lo Dit”
“Ya udah deh Sya. Pacar gue udah nungguin tuh”
“Woooaahh…. Pengen jalan.?”
“Iya. Bareng Reza, Yuni, Revan, Gita. Deni dan Jihan juga ikut”
“Woooaahhh. Oke deh. Semoga senang – senang”
“Oke”
Begitulah hubunganku dengan Deni dan sahabat – sahabatnya. Aku senang Deni bisa bahagia, aku juga turut bahagia untuknya.
Sudah satu minggu putusku dengan Deni, namun aku masih terus berhubungan dengannya. Aku juga sudah mulai akrab dengan Jihan. Ternyanya Jihan teman yang asyik, dia juga lucu dan ku harap iya bisa menjadi teman baikku.
Hubungan putusku dengan Deni sudah tersebar disekolah. Setiap malam ada, ada saja nomor baru yang masuk. Aku hanya sekedar membalasnya. Untuk saat ini aku tidak ingin berpacaran dulu. Aku ingin fokus dengan sekolahku selain itu aku juga ingin betul – betul menyembuhkan luka ku dari Rendra. Aku tak ingin ada lagi hati yang sakit karenaku atau ada pongorbanan karenaku.

Bersambung …………… :)




~Ozoga~






Tidak ada komentar: