I
BELIEVE HE IS DIFFERENT (Part IV)
“Terima kasih,Tasya. :) ”
Hari
terus berlalu, aku sudah berada di Bantaeng. Aku kembali setelah saat acara arisan keluarga selesai. Aku
kembali ke Bantaeng bersama mama. Sempat Deni melihatku, aku hanya tersenyum
begitu pula dengannya.
Hingga
di hari senin tanggal tanggal 17 aku balikan dengan Deni. Awalnya aku menolak
namun setelah ku pikir – pikir. Mengapa tidak, toh aku juga dekat dengan Deni.
Lagipula tidak ada alasan untuk menolak, ia terlalu baik untuk ditolak.
Hari
– hari berjalan lancar. Hingga suatu hari di sekolah aku sedang duduk ditaman
sekolah. Temanku Risti menghampiriku.
“Ehh.
Risti” kataku ketika Risti sudah duduk disebelahku
“Lo
balikan yah sama Deni.?” Risti bertanya dengan mencondongkan tubuhnya
“Tau
dari mana lo.?” Tanyaku balik sambil tersenyum
Risti
kembali duduk dengan benar.
“Apa
sih Sya yang gue nggak tau.? Apa lagi masalah lo. Ya ammpuun bukan rahasia lagi
kalau semua tentang lo” tutur Risti
“Yee.
Nggak juga kali” kataku menimpali ucapan Risti
“Kok
lo balikan lagi sih.?” Tanyanya lagi
“Emang
kenapa kalau gue balikan.?” Tanyaku balik, ada nada tak suka dari caranya
bertanya.
Risti
terdiam. Ku lihat dari arah lain Dinda dan Febi berjalan menghampiriku.
“Lagi
ngapain sih.?” Febi bertanya ketika mereka sudah duduk di hadapanku
“Nggak.
Lagi ngobrol aja” jawabku singkat diikuti senyumku
“Sya.
Kenapa sih lo mesti pacaran jarak jauh.? Yang dekat banyak suka kok sama lo”
Risti melanjutkan pembicaraannya. Aku hanya diam.
“Ngomong
apaan sih kalian.?” Kini Dinda yang bertanya
“Tasya
balikan lagi sama Deni” Risti menjawab pertanyaan Dinda
“Lagi.?”
Febi berkata dengan keterkejutannya sambil mencondongkan badannya
Aku
menjawabnya hanya dengan senyuman.
“Kenapa
mesti Deni sih Sya.?” Kini Dinda bertanya dengan nada yang ku rasa aneh
“Emang
kenapa sih dengan Deni.?” Tanyaku heran
“Jujur
aja yah Sya. Kami nggak pernah setuju lo pacaran bareng Deni” Risti berkata
seakan mewakili orang yang ada di dunia.
“Ok.
Alasannya.?” Tanyaku masih tidak puas
“Gue
nggak percaya sama Deni” Risti memulai pengakuannya. Aku hanya diam menunggu
kelanjutannya.
“Lo
nggak mikir Sya. Lo bilang Deni itu lumayan, pintar, berada, dikagumi banyak
cewek. Coba deh lo pikir kata – kata lo. Kalau Deni memang seperti yang lo
bilang besar kemungkinan kan dia selingkuh” Risti mengakhiri pengakuannya
“Hahaha.
Nggak mungkinlah Ris, dia itu sayang bangett sama aku” Seketika aku tertawa
mendengar perkataan Risti
“Heii.
Sadar lo.?! Apa sih yang nggak mungkin di dunia ini.?! Cowok itu emang ngomong
gitu dihadapan lo, tapi buntutnya dia malah selingkuh” Risti menepuk pundakku
“Ahhh.
Sudahlah Ris. Gue juga nggak masalah kalau dia mau selingkuh, gue nggak berhak
larang – larang dia. Gue fine aja gitu kalau di selingkuh atau apa kek.” Kata
ku kemudian
“Iya
lo fine aja Sya. Tapi gosip gimana.?” Kini giliran Febi yang angkat bicara
“Masa
bodoh aahh sama gosip. Abaikan saja” kataku mencoba untuk cuek
“Terserah
lo aja deh mau ngabaiin gosip. Tapi reputasi lo gimana.? Lo selama ini dikenal
hebat.?”
Aku
terdiam. Benar juga apa yang dikatakan teman – temanku.
“Gue
saranin lo putus aja deh Sya. Banyak kok cowok pengen sama lo” kini Dinda ikut
nimbrung. Aku tidak menanggapi perkataan Dinda. Aku hanya diam.
Malam
harinya, seperti yang sudah ku duga. Deni bisa membaca gelagat aneh ku saat ia
menelfonku.
“Ada masalah yah Sya.?” Tanya Deni
Aku masih diam. Deni mengulang
lagi.
“Tasya.?”
“Ya.?”
“Lagi ada masalah yah dek.?”
“Nggak kok kak”
“Kalau nggak, kamu nggak akan diam
terus dek”
“Nggak kok kak”
“Kalau punya masalah jangan sungkan
cerita yah dek”
“Aku bilang nggak ada. Yah nggak
Ada.!!” Ku sadari suara ku mulai meninggi
“Ya udah dek. Nggak usah marah
gitu. Aku cuma menyarankan saja. Siapa tau aku bisa bantu gitu”
“Nggak usah. Aku nggak butuh
bantuan.!!” Suaraku masih saja meninggi
“Adek kenapa sih kok marah – marah
gitu sih.? Lagi dapet yah.?”
“Udah deh diam.!!!!”
Seketika
hening. Tak ada satupun dari kami yang berbicara. Hingga ia meulai lagi.
“Sya.?” Deni memanggilku
“Mm.”
“Aku minta maaf yah.?”
“Untuk.?”
“Untuk segalanya. Apapun itu.
Mungkin aku udah buat kamu sedih atau apalah. Aku minta maaf”
“Nggak ada yang perlu dimaafkan kok
kak. Malah aku yang perlu minta maaf. Aku udah marah – marah nggak jelas sama
kakak”
“Nggak apa – apa kok dek. Kakak
udah maafin kamu”
“Ok deh kak. Aku butuh sendiri
dulu”
“Yah udah deh. Kalau butuh kakak
jangan sungkan nelfon yah.? Atau sms nanti kakak yang nelfon”
“Ok kak.”
Telfonpun
terputus. Aku masih duduk dimeja belajarku tanpa melakukan apa – apa. Tugas
sekolahkupun tak ku sentuh. Pikiranku melayang pada pembicaraanku tadi di taman
bersama teman – temanku. Aku masih bingung. Hingga jarum jam menunjukkan pukul
23.000 WITA. Hinggaku putuskan menelfon Deni.
“Halo.? Kak.?” Ucapku ketika
kudengar Deni mengangangkat telfonku
“Mmmm.?” Ohhh. Shitttt… Dia sudah
tidur.
“Udah tidur yah.?” Tanyaku seolah
tidak tahu
“Baru saja. Ada apa.?”
“Nggak jadi ahh.” Kataku
kemudian. Kudengar suara – suara kresekan mungkin itu berasal dari tempat tidur
Deni mungkin ia sedang memperbaiki duduknya.
“Ngomong aja. Nggak apa – apa kok”
“Beneran.?”
“Iya”
“Aku Cuma mau nanya” kataku dengan
suara yang sedikit melemah
“Iya. Nanya aja dek”
“Begini kak. Kakak taukan teman aku
Risti.?”
“Iya. Kakak tahu, kamu sering
cerita tentang dia”
“Gini kak. Dia punya pacar namanya
Bima” aku memulai ceritaku dengan menggambarkan diriku
pada Risti.
“Truss.?”
“Risti kan cantik, pintar, ia juga
popular disekolah, disukai banyak cowok. Karena Risti sama Bima pacarannya
jarak jauh banyak yang mengatakan Risti itu bodoh, orang ngomong yang tidak – tidak
tentang pacar Risti. Ada yang bilang kemungkinan besar pacar Risti itu
selingkuh karena katanya Bima itu gagah, pintar, popular, kaya, disenangi
banyak orang, truss banyak cewek yang suka sama dia. Jadi bukan mustahil kan.
Pokoknya banyak deh, sahabat Ristipun nggak ada yang setuju Risti pacaran
dengan Bima.”
Aku
terdiam mencoba untuk menyusun kata – kata. Ku rasakan sesak, dan ku yakin tak
lama lagi air mataku tumpah. Aku tak sanggup melanjutkannya. Ku merasa, aku
tidak adil dengan Deni. Ia sudah banyak berkorban untukku, ia sudah baik
denganku. Kurasakan mataku perih dan tumpahlah tangisku. Aku mencoba untuk
tidak bersuara. Di ujung sana Deni masih terdiam menunggu kelanjutannya, hanya
sesekali kudengar tarikan nafasnya yang berat. Dan aku akan kembali merasa
bodoh. Aku kemudian kembali melanjutkan ceritaku.
“Truss. Risti nanya sama aku” aku
mencoba berbicara pelan agar Deni tak mengetahuiku kalau aku sedang menangis.
Deni masih terdiam.
“Dia nanya sama aku. Apa yang harus
ia lakukan.? Dia mengormati Bima, ia tidak ingin menyakiti Bima yang sudah
terlalu baik dan menyayanginya. Disisi lain ia juga tak suka dengan gosip, ia
tidak ingin reputasinya rusak gara – gara gosip yang beredar” Kini aku tidak
dapat menyembunyikan tangisku lagi. Ku dengar tarikan nafas Deni yang sangat
berat. Aku merasa bersalah, aku kejam. Deni tidak mencoba menenangkanku, aku
tak tahu apakah ia sudah sadar bahwa yang kuceritakan adalah dirinya dan aku
atau belum.
Sekali
lagi kudengar Deni menarik nafas sebelum ia berbicara.
“Apakah Risti mencintai Bima,
dek.?”
Ohhhh.
Ya ammmpunnn, pertanyaan yang benar – benar tak ku inginkan saat ini. Aku tak
mampu menjawabnya. Jujur saja saat ini aku masih belum bisa melupakan Rendra,
cinta pertamaku. Perasaanku dengan Deni masih belum berubah, aku masih
menganggapnya sebagai teman tak lebih dari itu. Apa yang harus ku lakukan.? Apa
yang akan kukatakan.? Jawaban macam apa yang harus ku berikan.
“Aku tak tahu kak. Aku tak tahu
perasaan Risti terhadap Bima, tapi Risti pernah bilang sama aku. Ia sangat
menghormati Bima. Bima sangat baik terhadapnya dan sangat menyayangi dia. Bima
sudah banyak berkorban untuknya. Ia ingin membahagiakan orang yang
mencintainya, ia ingin melihat Bima terus tersenyum, dan tertawa meskipun ia
harus mengorbankan perasaannya. Baginya membahagiakan orang yang mencintainya
itu sudah lebih dari cukup untuknya dan membuatnya ikut bahagia. Ia tak tahu
kalau membahagiakan orang dicintainya sesulit ini” aku menjawabnya dengan air
mataku yang terus saja menetes.
“Kakak merasa Risti tidak mencintai
Bima. Dek”Aku merasa suara Deni sangat aneh, aku tak mengenal suara ini. Apa
yang terjadi dengan Deni.?
“Kak.?”
“Ada apa dek.?” Dan
lagi suara itu sangat aneh
“Kakak nggak apa – apa.?”
“Nggak kok dek. Emang kenapa adek
bertanya seperti itu.?” Dan masih tak berubah
“Suara kakak terdengar aneh”
“Ahh.. kamu salah dengar kali dek” Dan
kali ini suaranya benar – benar aneh seakan ia sedang melawan sesuatu, aku
heran namun aku hanya diam.
“Begini dek. Semuanya dikembalikan
sama Ristinya saja. Ketika ia memang benar – benar ingin membahagikan Bima,
abaikanlah gosip yang beredar lama – kelamaan gosip itu akan hilang atau ia
bisa menyangkal gosip tersebut”
“Tapi bagaimana dengan reputasinya
kak.?”
“Adek. Ketika kau menginginkan
sesuatu dan sangat ingin memilikinya maka kaupun harus melepaskan yang lainnya.
Ketika kita di perhadapkan pada dua pilihan dan harus memilih salah satunya
berarti kita akan kehilangan yang lainnya. Seperti itulah sekarang dek. Risti
ingin membahgiakan orang yang mencintainya berarti ia harus melepaskan reputasi
yang kemungkinan besar bisa ia kembalikan nantinya, ia bisa membangunnya
kembali. Tapi ketika ia memilih tetap menjaga reputasinya berarti ia harus
melupakan mimpinya untuk membahagiakan orang yang mencintainya”
Aku
terdiam mendengar nasehat Deni. Aku merasa semakin sesak. Suara Deni yang makin
lama ku rasa semakin aneh.
“Tapi dek..” Deni
terdiam ia tidak melanjutkan kata – katanya.
“Tapi apa kak.?” Aku
penasaran dengan kelanjutan kata – katanya
“Menurut kakak. Sebaiknya Risti
memilih mempertahankan reputasinya.” Aku semakin heran
dengan suara Deni masih terasa aneh.
“Mengapa kakak berkata seperti
itu.?”
“Ketika Bima tahu apa yang telah
dikorbankan Risti untuknya mungkin Bima akan merasa sedih dan terus merasa bersalah.”
Deni kembali diam. Aku menunggu Deni melanjutkannya.
“Ketika kita mencintai seseorang
kita akan rela berkorban untuknya dek. Kita tidak akan peduli dengan apapun
yang kita korbankan hanya untuk melihatnya tersenyum dan bahagia. Jika Bima
tahu bahwa Risti sudah mengorbankan reputasinya dan perasaannya untuk dirinya
yang hanya untuk membalas pengorbanan dan kebaikannya selama ini maka ia akan
merasa sangat sedih, bersalah, dan merasa gagal membahagiakan Risti. Bima akan
merasa pengorbanannya selama ini hanyalah sia – sia dan akhirnya Bima akan
menjadi orang sangat putus asa dan menjadi seseorang yang sosoknya tak dapat
dikenali lagi”
Kini
tangisku semakin menjadi. Aku tak dapat berkata apapun mendengar penuturan
Deni. Ini memang pilihan yang paling berat. Mengapa
untuk membahagiakan orang yang mencintaiku sesulit ini.? Di ujung sana Deni
juga terdiam hanya sesekali ku dengar tarikan dan hembusan nafasnya yang berat.
Hingga ku tau apa yang terjadi dengan suara
Deni di ujung sana.
“Deni, belum tidur nak.?” Kudengar
suara dari ujung sana yang bisa ku tebak itu suara Bude Linta mama Deni. Tak
ada jawaban dari Deni. Hanya ada langkah yang tergesa – gesa yang terdengar.
“Ohhh. Ya ampun. Ada apa denganmu
nak.? Mengapa kau seperti ini.? Mengapa kau menangis.? Apa yang membuatmu
menangis.? Apa kau punya masalah disekolah.? Ada apa nak.?” Dapat
ku tahu kekhawatiran bude Linta dari Nada suaranya. Dan aku juga merasakan
darahku berhenti, apa yang ku perbuat.?
Membuat Deni menangis.? Jadi.? Dia sudah tahu.? Dan lagi, apa yang ku perbuat.?
Aku merasa sangat kejam.
“Ohh. Tidak apa – apa ma. Cuma
nilai ulangan Fisikaku sangat rendah dan besok ada ulangan Matematika tapi aku
benar – benar tidak konsen. Tak ada satupun materi yang dapat ku pahami” kudengar
suara Deni yang tidak lagi menyembunyikan tangisnya.
Kini
tanganku sudah menutup mulutku. Ku menangis tanpa suara sejadi – jadinya.
Terakhir ku dengar suara bude Linta sebelum menekan tombol memutus sambungan
telfonku dengan Deni.
“Yah, sudah besok nggak usah masuk
sekolah dulu. Refreshing sana, akhir – akhir ini kamu terlalu sibuk dengan
sekolahmu”
Lama
aku menangis dan ku yakin mataku akan bengkak besok. Aku tak mencoba
menghubungi Deni kembali dan Denipun tak mencoba menghubungiku, mungkin ia
butuh waktu untuk sendiri seperti yang ku inginkan.
Disekolah
aku lebih banyak diam dan menyendiri. Berhari – hari aku tidak berhubungan
dengan Deni. Deni terus saja menghubungiku namun ku tolak semua panggilan
darinya. Hingga pada tanggal 28 aku memutuskan mengangkat telfonnya. Saat itu
aku sedang belajar.
“Halo kak.?”
“Iya dek. Lagi ngapain.?” Ternyata
Deni tidak membahas masalah beberapa malam lalu.
“Lagi kerja tugas kak. Kakak
sendiri lagi ngapain.?”
“Nggak kok dek. Cuma lagi duduk –
duduk teras rumah aja”
“Kak. Aku mau ngomong”
“Ngomong aja dek”
“Aku rasa sebaiknya kita akhiri
saja hubungan ini. Ku rasa cukup sampai disini saja”
Aku kamudian memberikan keputusanku. Dan baru ku sadari, dari tadi aku sudah
menahan nafas.
“Jika itu keputusanmu, apa yang
bisa ku perbuat dek selain menerimanya”
“Terima kasih kak”
“Iya dek”
“Ya udah kak. Aku mau lanjut kerja
tugas lagi”
“Ok dek”
Dan
selesai sudah hubunganku dengan Deni. Aku memang egois, aku memang jahat, aku
kejam, tapi apa yang bisa ku perbuat aku tidak ingin merusak reputasiku dan harus
memulai dari awal lagi.
Keesokan
harinya. Di sekolah kata teman – temanku, aku terlihat sangat sehat. Aku hanya
tersenyum mendengar komentar mereka. Di sekolah aku bersenang – senang, tertawa
bersama teman – temanku. Namun berbeda pada malam harinya. Dita menghubungiku.
Pasti ini tentang Deni, kataku dalam hati
“Malam, Sya”
“Iya Dit”
“Lagi ngapain nih.?”
“Nggak kok, lagi nyantai aja gitu”
“Gue pengen nanya ni Sya”
“Nanya aja. Nggak apa – apa kok”
“Lo putus yah.?”
“Iya gitu deh” Jawabku
enteng
“Kok bisa.?”
“Yah udah nggak ada kecocokan gitu
deh”
Aku
merasa aneh, tidak biasanya Dita mencampuri hubunganku dengan Deni. Biasanya
juga Dita nggak tahu kalau aku putus dengan Deni.
“Lo tau dari mana gue putus Dit.?” Aku
kemudian bertanya namun tak ada jawaban yang ku dapat. Dita hanya diam.
“Ada apa sih Dit.?”
“Nggak kok”
“Ada yang lo sembunyiin dari gue
Dit. Deni yang beritahu lo.?”
“Nggaklah. Mana pernah Deni cerita
masalah hubungannya”
“Truss gimana lo bisa tau gue
putus”
“Nggak. Cuma aneh aja kelakuan Deni
di sekolah tadi”
“Emang dia kenapa.?”
“Ancurr bangett deh. Gue baru
ngeliat kali ini fashion Deni asal – asalan. Lo kan tau Deni kalau makai jam
tangan pasting matching dengan fashionnya. Ehh tadi nggak matching bangett tau.
Gue nggak tau masih untung kalau tuh rambut di sisirin, berantakan banget.
Truss sukanya ngelamun mulu. Pokoknya kayak bukan Deni gitu deh” Dita
mengakhiri ceritanya
Aku
hanya terdiam. Ini semua ulahku, ini semua hasil dari keputusanku. Aku sedih
mendengar Deni seperti ini.
“Mungkin dia butuh waktu Dit”
“Waktu putus dulu bareng Selsa.
Nggak sampai segitunya si Deni, tapi kali ini gue bener – bener heran deh Sya.
Kayak gue nggak kenal dia gitu, pokoknya beda beda bangett”
Aku
kemudian teringat dengan kata – kata Deni dulu waktu aku mengumpamakan diriku
dan dirinya dengan Risti dan Bima. “Ketika
seseorang gagal membahagiakan orang dicintainya, maka ia akan menjadi orang
yang sangat putus asa dan menjadi seseorang yang sosoknya tak dapat dikenali
lagi”.
“Ya. Udah deh Sya. Gue pengen kerja
PR dulu. Kapan – kapan gue telfon lagi yah.?”
“Ok. Dit”
Setelah
itu telfonpun terputus. Aku kembali terdiam di meja belajarku, tak ada kegiatan
yang dapat ku lakukan.
Sudah
satu minggu putusku dengan Deni. Tak ada kabar yang ku dapat tentangnya. Hingga
suatu malam Dita kembali menelfonku.
“Halo.?”
“Ya.? Ada apa Dit.?”
“Ada apa sih sebenarnya lo dengan
Deni.?”
“Memangnya kenapa Dit”
“Udah cukup gue diamin kalian. Gue
udah nggak tahan ngeliat Deni kayak gini terus”
“Emang Deni kenapa Dit.?”
“Ancurrr banget Dit. Gue ngerasa
gue kehilangan sosok Deni”
“Alasannya.?”
Dapat
ku dengar Dita mulai menangis.
“Deni ancurr banget Sya. Dia udah nggak
kayak dulu lagi” Dita terisak, aku menunggu ia
melanjutkan ceritanya.
“Ia suka ngelamun, suka marah –
marah nggak jelas gitu. Ia jarang ikut latihan Basket lagi, jarang masuk Les,
jarang makan. Sekarang ia terlihat kurus. Kerjaannya di rumah terus, dikamar
ngelamun. Gue nggak tahu mesti buat apa. Tente Linta juga sedih banget ngeliat
keadaan Deni. Tapi kami tidak dapat berbuat apa – apa. Dan lebih parahnya lagi,
nilai – nilai Deni banyak menurun dan ia tidak memperdulikannya. Padahal setau
gue Deni nggak bakal pernah tenang kalau nilainya menurun. Guru – guru banyak
bertanya tentang Deni, gue nggak tahu harus ngejawab apa Sya.? Gue harus jawab
apa.? Gue nggak tega ngelihat sahabat gue kayak gitu.” Kini
isakan Dita semakin menjadi dan aku ikut terbawa dengan suasana sedih yang
diciptakan Dita. Air mataku tak dapat ku bendung lagi, aku tak tahu harus
berbuat apa.
“Gue minta maaf Dit, udah buat
sahabat lo kayak gitu. Gue benar – benar minta maaf”
“Sya.? Apa sih kurangnya Deni.? Dia
kurang apa lagi Sya.?”
“Nggak Dit. Dia nggak kurang apa –
apa. Dia terlalu sempurna bagi gue”
“Truss kenapa lo buat dia kayak
gitu.? Apa dia jahat sama lo Sya.? Apa dia udah buat yang lo nggak senang.?” Kini
suara Dita seakan menyalahkan Deni
“Nggak Dit. Nggak ada. Justru dia
baik bangett sama gue, dia juga selalu buat gue senang.”
“Truss apa dong Sya, sampai lo tega
ngancurin dia.?”
“Maafkan gue Dit. Gue benar – benar
minta maaf”
“Sya. Lo kok tega sih.? Gue kecewa
sama lo Sya. Gue kecewa banget”
“Gue minta maaf Dit”
“Ya udah Sya. Gue pengen ke rumah
Deni dulu”
“Ok Dit.
Telfonpun
terputus. Aku kembali terdiam di meja belajarku. Tak lama ponselku kembali berdering.
Pesan.
From : Reza
Hei.? Kok nggak
ada kabar sih kemana aja.?
To : Reza
Nggak ke mana –
mana kok. Cuma akhir – akhir ini lagi banyak kerjaan.
From : Reza
Woaahh. Sibuk
amet sih. Ehh ngomong – ngomong lo sama Deni baik – baik kan.? Ada apa sih dengan
si Deni, fashionnya ancur bangett lo nggak pernah matching akhir – akhir ini,
trus suka ngelamun gitu. :D woaahh pokoknya ancur banget deh.
Satu
lagi orang yang mengatakan perubahan Deni. Aku kembali merasakan sesak dan air
mataku kembali tumpah. Baru kali ini aku mengenal cowok seperti Deni, aku tak
menyangka ia benar – benar terpuruk karena masalah perasaan. Kini aku benar –
benar yakin Deni berbeda dari cowok yang lain.
Keesokan
harinya saat ku mencoba untuk menjelejah dunia maya. Ku dapati satu pesan. Dari
Dita. Ia mengirimiku stiker. Ku buka pesan tersebut. Seketika bulir bening
berjatuhan. Itu foto Deni. Ku lihat ia sedang duduk melamun. Dan …. Ya
ampunnnn. Ada apa dengan fashionnya.? Ku lihat matanya yang menyiratkan
kesedihannya. Ia terlihat lebih kurus. Ia terlihat lelah seakan ia memikul
banyak beban. Hatiku sangat sakit melihat keadaan Deni. Seakan seseorang
meneriakiku.
“LIHATLAH.!!!
ITU HASIL PERBUATANMU.??!! KAU TELAH MERUBAHNYA MENJADI SOSOK YANG TAK DI
KENALI.?! APA.?! JANGAN MENGATAKAN KAU BARU MENYESAL SEKARANG.?!”
“Ya.
Aku benar – benar menyesal” bisikku pelan dan suaru itu kembali lagi.
“KAU
MENYESAL.?! LALU MENGAPA KAU DIAM.?! AYO.!!! LAKUKAN SESUATU BODOH.?!!”
Seketika
aku berteriak.
“AKU
MEMANG BODOH.!!! APA YANG HARUS KULAKUKAN.?! AYO JELASKAN PADAKU.?! AKU
BODOH.!!! AKU TIDAK TAHU APA YANG HARUS KU PERBUAT.!!!!” Teriakku histeris, aku
tak mendengar suara itu lagi
Aku
kemudian menangis sejadi – jadinya.
Keesokan
harinya di sekolah. Aku benar – benar tidak konsen mengikuti pembelajaran. Dan
aku sudah mengambil keputusan. Aku akan menghubungi Deni malam nanti.
Malam
harinya. Hari ini tanggal 22 Maret 2014. Aku mencoba mengumpulkan kekuatan
menghubungi Deni.
“Halo.? Assalamualikum.?” Kudengar
suara Deni di ujung sana. Suaranya sangat lemah. Aku menghubungi Deni dengan
nomor Privat number.
“Waalaikumsalam” aku
menjawab salam Deni.
“Tasya.?” Aku
tak menyangka ia dapat mengenal suaraku.
“Iya. Ini aku kak” Aku
mencoba untuk tetap memanggil Deni kakak.
“Ada apa Sya.?”
“Bagaimana kabarmu.?”
“Alhamdulillah baik. Kamu
bagaimana.?” Deni berbohong
“Baik juga Kak” akupun
ikut berbohong
Kamipun
terdiam tak ada yang mencoba untuk berbicara lagi.
“Kak.?”
“Mm.?”
“Kakak tak berniat mencoba
memintaku balikan dengan kakak.?”
“Apakah aku masih bisa memintanya,
dek.?”
“Mmm”
“Kau yakin dek.?” Ku
dengar suara Deni mulai berubah, ada nada senang yang dapat ku tangkap.
“Iya kak” jawabku
lagi
“Jadi kita resmi pacaran lagi.?”
“Iya kak”
“Thanks adek”
“Ok. Kak”
Semoga
keputusan yang ku ambil ini benar. Meskipun aku harus mengorbankan reputasi
terlebih lagi perasaanku yang penting aku bisa membahagiakan Deni, orang yang
sangat mencintaiku. Kali ini aku ingin berkorban untuknya, aku akan
mengembalikan reputasiku nanti. Aku akan mencoba memulainya dari awal lagi,
bagiku kini itu tidak masalah selama Deni bisa tersenyum lagi.
Hubungan
ku dengan Deni baik – baik saja. Orang – orangpun menerima keputusanku, tidak
ada lagi gosip yang tak enak di telinga tersebar hanya ada gosip tentang
kesetiaan.
Sudah
beberapa hari aku balik dengan Deni, namun ku rasa ada yang berbeda dari cara
Deni berbicara terhadapku. Aku merasa sesuatu terjadi. Namun ku abaikan,
mungkin rasa canggung masih ada pada kami. Hingga suatu hari aku merasa aneh
dengan kelakuan Deni. Dan pada malam harinya, pada saat menelfon ia lebih
banyak diam. Aku merasa sangat aneh tidak seperti Deni. Apakah ada sesuatu yang
di sembunyikan dariku.? Akupun menghentikan kegiatan belajarku.
“Kak.?”
“Ya.?”
“Kok diam sih.?”
“Yah. Kamunyakan lagi belajar dek”
“Tapi nggak kayak kakak yang
biasanya deh”
“Ahhh. Itu cuma perasaan kamu saja
dek”
“Ada yang kakak sembunyiin
dariku.?”
“Nggak ada kok kak”
“Jujurlah kak”
Deni
terdiam. Apa ini.? Apa yang ada di fikiran Deni.
“Kak.?”
“Ya.?”
“Bicaralah kak”
“Kamu yakin dek, ingin
mendengarnya.?”
Aku
heran mendengar pertanyaan Deni. Tiba – tiba perasaan ku tak enak. Namun aku
tetap ingin mendengarnya.
“Ya kak. Aku ingin mendengarnya”
“Kau siap.?”
Aku
terkejut. Ada apa sebenarnya.? Pertanyaan macam apa ini.?
“Ya kak. Memangnya ada apa.?”
Deni
terdiam.
“Kak.? Jangan sungkan ngomong kak.”
Ku
dengar tarikan nafas Deni. Aku semakin penasaran.
“Dek.?”
“Mmm”
“Kita akhiri saja hubungan ini”
Aku
terkejut, ada apa sebenarnya.? Namun aku masih diam menunggu Deni melanjutkan.
“Ku rasa cukup sampai di sini
hubungan kita dek. Banyak hal yang membuat kita harus mengakhirinya. Kakak juga
tidak ingin kamu mengorbankan reputasimu …” Aku memotong
ucapan Deni
“Tidak kak. Reputasiku baik – baik
saja”
“Biarkan kakak bicara dek.
Please.!”
“Ya kak.”
“Kakak senang pernah mengenalmu,
kakak senang pernah mengisi harimu, kakak senang bisa tahu banyak tentang kamu.
Kakak juga senang adek mengizinkan kakak masuk ke kehidupan adek, menemani
adek. Tapi kakak tidak bisa selamanya berada di sisimu dek. Ku harap adek bisa
cepat sembuh dari luka yang diciptakan Rendra. Kakak berbohong jika kakak
bilang, kakak tidak pernah berharap adek mencintai kakak dan melupakan Rendra,
tapi kakak tidak memaksa adek. Kakak hadir di hidup adek hanya ingin membantu
adek bangkit, menghibur adek”
Deni
terdiam, ia menarik nafas kemudian melanjutkan lagi.
“Kakak berharap adek bisa dapat
cowok yang jauh lebih baik dari pada kakak ataupun Rendra. Adek berhak bahagia.
Kakak juga mau ucapkan terima kasih sama adek. Karena adek kakak dapat banyak
pengetahuan dan berkat adek kakak bisa buka hati kakak lagi untuk orang lain.
Selama ini kakak juga menutup diri dari kehidupan sekitar kakak.tapi berkat
adek kakak sadar kelakuan kakak salah. Ternyata ada banyak hal yang indah di
luar sana. Kakak sangat bahagia bisa mengenal adek.”
Aku
masih terdiam.
“Kini barulah kakak sadar, kakak
baru tahu, ternyata ada seseorang yang sudah bertahun – tahun selalu mengagumi
kakak. Hingga kini ia bahkan belum pernah berpacaran, ia menutup diri, ia hanya
mengagumi kakak. Kakak baru tahu itu sekarang. Dan kali ini kakak ingin memberi
dia kesempatan adek. Aku ingin membahagiakn orang yang mencintaiku dek”
“Kak.?” Kini
air mataku tak dapat ku tahan lagi.
“Ya dek.?”
“Kakak yakin.?”
“Iya dek. Maafkan kakak”
“Tidak kak. Tidak. Tidak ada yang
perlu di maafkan”
“Kakak harap adek bahagia. Ku harap
adek masih ingin berteman dengan kakak”
“Ya kak. Akupun berharap seperti
itu. Ingatlah kak.!! Yang putus diantara kita adalah sebuah status bukan sebuah
hubungan. Aku juga berharap kakak masih ingin berteman denganku”
“Iya dek.”
“Terima kasih kak”
“Kakak juga”
“Iya kak”
“Kapan – kapan kakak kenalkan kamu
dengan Jihan”
“Namanya Jihan kak.?”
“Iya dek. Dia setahun lebih muda
darimu”
“Aku doakan kakak bahagia yah.
Semoga langgeng”
“Terima kasih dek”
“Iya kak”
“Ya udah dek. Kakak pengen telfon
Jihan dulu”
“Iya kak”
“Assalamualikum”
“Waalaikumsalam”
Begitulah
hubunganku dengan Deni berakhir. Meskipun ada air mata yang ku ciptakan tapi
percayalah itu adalah air mata bahagia ku.
Keesokan
harinya. Malam hari Dita menelfonku.
“Halo.?” Sapaku
“Sya.? Lo putus dengan Deni.?”
“Ya. Emang ada apa Dita.?”
“Kok bisa.?”
“Itu keputusan kami Dit”
“Lo tahu iya berpacaran dengan
Jihan adek kelas kami.?”
“Iya”
“Deni yang memberitahu lo.?”
“Iya Dita”
“Yang mutusin hubungan lo, jangan
bilang … ?”
“Ya. Itu Deni”
“Banggsaatt betul tuh si Deni, bisa
– bisanya dia mutusin lo truss jadian bareng Jihan” Dita mengumpat. Aku
tertawa.
“Kok lo malah ketawa sih Sya.?”
“Habis lo lucu sih. Udah, gue
dengan Deni udah nggak ada kecocokan Dit. Gue juga udah lama pengen putus
dengan Deni”
“Yakin lo.?”
“Iya. Ya ammpunn Dita. Dita. Lo
lucu banget tau. Gue senang lo sama lo. Lo peduli banget sama sahabat lo Deni”
“Yeeee …. Bukan sahabat lagi buat
gue dia udah gue anggap saudara”
“Okelah”
“Ya udah deh. Lo jangan sedih yah”
Seketika tawa kami meledak.
“Ada, ada aja lo Dit”
“Ya udah deh Sya. Pacar gue udah
nungguin tuh”
“Woooaahh…. Pengen jalan.?”
“Iya. Bareng Reza, Yuni, Revan,
Gita. Deni dan Jihan juga ikut”
“Woooaahhh. Oke deh. Semoga senang
– senang”
“Oke”
Begitulah
hubunganku dengan Deni dan sahabat – sahabatnya. Aku senang Deni bisa bahagia,
aku juga turut bahagia untuknya.
Sudah
satu minggu putusku dengan Deni, namun aku masih terus berhubungan dengannya.
Aku juga sudah mulai akrab dengan Jihan. Ternyanya Jihan teman yang asyik, dia
juga lucu dan ku harap iya bisa menjadi teman baikku.
Hubungan
putusku dengan Deni sudah tersebar disekolah. Setiap malam ada, ada saja nomor
baru yang masuk. Aku hanya sekedar membalasnya. Untuk saat ini aku tidak ingin
berpacaran dulu. Aku ingin fokus dengan sekolahku selain itu aku juga ingin
betul – betul menyembuhkan luka ku dari Rendra. Aku tak ingin ada lagi hati
yang sakit karenaku atau ada pongorbanan karenaku.
Bersambung
…………… :)
~Ozoga~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar